this is my third article, telah berhasil dipublish oleh media radar sulteng :D
Otonomi daerah
merupakan sebuah manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan serta
perubahan penuh ekpektasi yang terjadi pada rezim reformasi, pasalnya otonomi
daerah dapat dikatakan formula mengakhiri kekuasaan sentralistik yang terjadi
selama tiga dasawarsa yang dianggap sakral pada masa kepemimpinan Presiden
Soeharto, dimana segala bentuk kekuasaan semata-mata berada pada tangan
pemerintah pusat, dan mengabaikan kesejahteraan daerah-daerah padahal Indonesia
merupakan negara yang dijuluki “nusantara”.
Ketika B.J Habibie diberi mandat untuk
menggantikan kedudukan Soeharto sebagai presiden, maka Presiden B.J. Habibie
menerbitkan sebuah regulasi yakni UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah serta UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah, hal ini dilakukan guna atas tuntutan implementasi desentralisasi daerah
sehingga terjadi adanya harmonisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah khususnya pada bidang keuangan.
Pesismisme
Otonomi daerah
Sejak diberlakukannya
UU otonomi daerah yang mengakibatkan terbalutnya euforia otonomi daerah,
segelintir masyarakat sering membahasnya dalam aspek optimis. Tidak dapat
disangkal ketika lahirnya regulasi berkenaan dengan otonomi membawa dampak
positif dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri dengan
melakukan pembangunan dan pemanfaatan atas hasil daerah masing-masing serta
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Ternyata disamping
segelintir masyarakat yang membahas otonomi daerah dari aspek optimis, terbesit juga dampak pesimis berkaitan dengan
penggunaan anggaran daerah yang jor-joran, dimana terjadi pergeseran
praktik korupsi dari pusat ke daerah. Kompleksitas permasalahan yang paling
mencolok ialah terkuaknya sebagian kasus-kasus korupsi di birokrat daerah dan
anggota legislatif daerah sebagai faktanya ialah terkuaknya kasus korupsi yang
dilakukan oleh bupati buol Amran Batalipu, hal ini merupakan fakta yang
menambah keyakinan penulis bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi daerah.
Seperti yang dikatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud
MD, bahwa."Sangat disayangkan, korupsi sekarang tidak lagi terpusat,
tetapi ada di mana-mana, di masa Orde Baru korupsi dilakukan setelah
kebijakan dan realisasi anggaran berjalan, namun saat ini sejak
perundang-undangan atau kebijakan pemerintah dibahas sudah menimbulkan korupsi,
dan saat pelaksanaan, tentu bisa dibayangkan, seperti apa dalam realisasinya,
tinggal berapa anggaran yang sampai pada sasaran. " terangnyaa saat memberikan ceramah
ilmiah dalam acara "Haflah Akhirussanah" di Pondok Pesantren Mlaten,
Kecamatan Kauman, Tulungagung, Sabtu (16/6/2012). Terkait dengan argumentasi
Mahfud MD di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, otonomi daerah bukan menjadi
solusi yang tepat untuk dapat keluar dari cengkraman tindakan para koruptor,
justru menjadi sumur bagi koruptor terutama daerah pemekaran.
Upaya Preventif atas Pesimisme Otonomi Daerah
Secara mendasar, telah terjadinya desentralisasi korupsi yakni
dengan adanya kekuasaan yang semakin “membengkak” pada elite lokal. Lalu apa
saja upaya yang ditempuh guna meminimalisir tejadinya desentralisasi korupsi? Menurut hemat penulis, adanya upaya awal yang
dapat ditempuh dewasa ini yakni upaya preventif atau upaya pencegahan. Upaya
ini diimplementasikan dengan cara pembatasan kekuasaan pemerintah daerah dan
DPRD, sebagaimana adagium yang dicetuskan oleh Lord Acton yakni “Power Tends to Corrupt, Absolute Power
Corrupt Absolutelly” yang artinya "Kekuasaan
cenderung untuk korup, dan kekuasaan mutlak ialah korup mutlak ".
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya sistem demokrasi
perwakilan yang dianut oleh Indonesia dengan adanya pemberian kekuasaan yang
berfungsi sebagai public trust,
terhadap hal tersebut perlu diimplementasikannya sebuah mekanisme kontrol
sosial yang dilakukan oleh rakyat di setiap daerah terhadap setiap aktivitas
pejabat daerah masing-masing, pengontrolan yang dimaksud ialah pengotrolan pada
proses polik dan administrasi di daerah yang meliputi: pemilihan kepala daerah,
pelayanan publik di daerah, serta penyusunan dan pelaksanaan APBD.
Upaya preventif selanjutnya yakni, penetapan gaji dan
tunjangan pejabat daerah secara layak. Penulis menyarankan agar badan
legislator daerah memberlakukan sebuah kebijakan baru yaitu memberikan
kemudahan bagi pejabat dalam pengambilan kredit mobil pribadi sebagai pengganti
dari tunjangan mobil dinas yang dianggap menghabiskan anggaran daerah yang
semestinya diberlakukan untuk kesejahteraan rakyat daerah. Menurut hemat
penulis, upaya pemberlakuan pemberian tunjangan transportasi dengan mobil
pribadi tersebut dapat dikenakan pungutan pajak kendaraan tiap tahunnya, dengan
adanya pungutan pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli
daerah juga sebagai tindakan preventif dalam meminimalisir terjadinya korupsi
dalam penggunaan APBD.
Upaya preventif terakhir yakni penguatan sistem peraturan
perundang-undangan terkait masalah implementasi sangsi yang konsisten dan tidak
pandang bulu dalam menindak, memberantas, dan menghukum terpidana koruptor.
Juga perlu adanya penguatan pada bidang revisi dan evaluasi peraturan
perundang-undangan agar sesuai dengan das sein dan das sollen.
Semoga dengan adanya upaya preventif yang dikemukakan di atas
tadi, dapat memenuhi ekspektasi seluruh rakyat di setiap daerah terhadap upaya meminimalisir
terjadinya desentralisasi korupsi, sehingga APBD tersebut betul-betul
dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat daerah.