Jumat, 13 Juli 2012

UPAYA MEREVITALISASI KEMBALI OPTIMISME MASYARAKAT OTONOMI DAERAH


this is my third article, telah berhasil dipublish oleh media radar sulteng :D

Otonomi daerah merupakan sebuah manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan serta perubahan penuh ekpektasi yang terjadi pada rezim reformasi, pasalnya otonomi daerah dapat dikatakan formula mengakhiri kekuasaan sentralistik yang terjadi selama tiga dasawarsa yang dianggap sakral pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, dimana segala bentuk kekuasaan semata-mata berada pada tangan pemerintah pusat, dan mengabaikan kesejahteraan daerah-daerah padahal Indonesia merupakan negara yang dijuluki “nusantara”.
 Ketika B.J Habibie diberi mandat untuk menggantikan kedudukan Soeharto sebagai presiden, maka Presiden B.J. Habibie menerbitkan sebuah regulasi yakni UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, hal ini dilakukan guna atas tuntutan implementasi desentralisasi daerah sehingga terjadi adanya harmonisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya pada bidang keuangan.
Pesismisme Otonomi daerah
Sejak diberlakukannya UU otonomi daerah yang mengakibatkan terbalutnya euforia otonomi daerah, segelintir masyarakat sering membahasnya dalam aspek optimis. Tidak dapat disangkal ketika lahirnya regulasi berkenaan dengan otonomi membawa dampak positif dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri dengan melakukan pembangunan dan pemanfaatan atas hasil daerah masing-masing serta memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Ternyata disamping segelintir masyarakat yang membahas otonomi daerah dari aspek optimis,  terbesit juga dampak pesimis berkaitan dengan penggunaan anggaran daerah yang  jor-joran, dimana terjadi pergeseran praktik korupsi dari pusat ke daerah. Kompleksitas permasalahan yang paling mencolok ialah terkuaknya sebagian kasus-kasus korupsi di birokrat daerah dan anggota legislatif daerah sebagai faktanya ialah terkuaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh bupati buol Amran Batalipu, hal ini merupakan fakta yang menambah keyakinan penulis bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi daerah.
 Seperti yang dikatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, bahwa."Sangat disayangkan, korupsi sekarang tidak lagi terpusat, tetapi ada di mana-mana, di masa Orde Baru korupsi dilakukan setelah kebijakan dan realisasi anggaran berjalan, namun saat ini sejak perundang-undangan atau kebijakan pemerintah dibahas sudah menimbulkan korupsi, dan saat pelaksanaan, tentu bisa dibayangkan, seperti apa dalam realisasinya, tinggal berapa anggaran yang sampai pada sasaran. " terangnyaa saat memberikan ceramah ilmiah dalam acara "Haflah Akhirussanah" di Pondok Pesantren Mlaten, Kecamatan Kauman, Tulungagung, Sabtu (16/6/2012). Terkait dengan argumentasi Mahfud MD di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, otonomi daerah bukan menjadi solusi yang tepat untuk dapat keluar dari cengkraman tindakan para koruptor, justru menjadi sumur bagi koruptor terutama daerah pemekaran.

Upaya Preventif atas Pesimisme Otonomi Daerah
Secara mendasar, telah terjadinya desentralisasi korupsi yakni dengan adanya kekuasaan yang semakin “membengkak” pada elite lokal. Lalu apa saja upaya yang ditempuh guna meminimalisir tejadinya desentralisasi korupsi?  Menurut hemat penulis, adanya upaya awal yang dapat ditempuh dewasa ini yakni upaya preventif atau upaya pencegahan. Upaya ini diimplementasikan dengan cara pembatasan kekuasaan pemerintah daerah dan DPRD, sebagaimana adagium yang dicetuskan oleh Lord Acton yakni “Power Tends to Corrupt, Absolute Power Corrupt Absolutelly” yang artinya "Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan mutlak ialah korup mutlak ".
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya sistem demokrasi perwakilan yang dianut oleh Indonesia dengan adanya pemberian kekuasaan yang berfungsi sebagai public trust, terhadap hal tersebut perlu diimplementasikannya sebuah mekanisme kontrol sosial yang dilakukan oleh rakyat di setiap daerah terhadap setiap aktivitas pejabat daerah masing-masing, pengontrolan yang dimaksud ialah pengotrolan pada proses polik dan administrasi di daerah yang meliputi: pemilihan kepala daerah, pelayanan publik di daerah, serta penyusunan dan pelaksanaan APBD.
Upaya preventif selanjutnya yakni, penetapan gaji dan tunjangan pejabat daerah secara layak. Penulis menyarankan agar badan legislator daerah memberlakukan sebuah kebijakan baru yaitu memberikan kemudahan bagi pejabat dalam pengambilan kredit mobil pribadi sebagai pengganti dari tunjangan mobil dinas yang dianggap menghabiskan anggaran daerah yang semestinya diberlakukan untuk kesejahteraan rakyat daerah. Menurut hemat penulis, upaya pemberlakuan pemberian tunjangan transportasi dengan mobil pribadi tersebut dapat dikenakan pungutan pajak kendaraan tiap tahunnya, dengan adanya pungutan pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah juga sebagai tindakan preventif dalam meminimalisir terjadinya korupsi dalam penggunaan APBD.
Upaya preventif terakhir yakni penguatan sistem peraturan perundang-undangan terkait masalah implementasi sangsi yang konsisten dan tidak pandang bulu dalam menindak, memberantas, dan menghukum terpidana koruptor. Juga perlu adanya penguatan pada bidang revisi dan evaluasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan das sein dan das sollen.
Semoga dengan adanya upaya preventif yang dikemukakan di atas tadi, dapat memenuhi ekspektasi seluruh rakyat di setiap daerah terhadap upaya meminimalisir terjadinya desentralisasi korupsi, sehingga APBD tersebut betul-betul dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat daerah.

Rabu, 04 Juli 2012

URGENSI DEKRIT PRESIDEN

this is my second article, berhasil dipublish media massa "mercusuar"


Sejenak kita merenungkan dekrit presiden Ir Soekarno yang sampai pada dewasa ini masih dapat dikatakan cukup “mempesona” untuk diperbincangkan. Dekrit merupakan peristiwa yang dapat dianggap “sakral” oleh bangsa Indonesia, pasalnya presiden dapat mengeluarkan suatu statement yang dapat merubah mekanisme roda pemerintahan melalui keputusan atau ketetapan kepala negara.  Meninjau dari segi historycal latar belakang mengapa dekrit Presiden Ir Soekarno dikeluarkan pada tanggal 5 juli 1959, hal ini dikarenakan kegagalan badan yang bernama “badan konstituante” untuk mengembalikan kemurnian UUD yang sempat dibuang sebagai pengganti UUDS 1950.
Perlu juga diketahui bahwa atmosfir politik yang terjadi menjelang dekrit Presiden ialah adanya implementasi demokrasi liberal yang berlaku pada sistem pemerintahan. Sistem ini sudah tentu membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai macam konflik muncul dipermukaan, mulai dari konflik antar kelompok, konflik antar ideologi hingga konflik antar partai politik. Jadi sekali lagi, dekrit presiden dipandang sebagai sebuah ketetapan luar biasa dari penguasa mengenai persoalan kenegaraan yang menghendaki penyelesaian segera demi kepentingan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.
Belajar dari dekrit Gusdur
Ketika presiden Abdurrahman Wahid atau yang disapa oleh Gus Dur mengeluarkan dekritnya yakni bubarkan parlemen serta bekukan salah satu partai politik yakni partai politik golkar, terjadilah polemik yang mengakibatkan tidak adanya dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia. Di samping tidak mendapat dukungan mayoritas rakyat Indonesia, secara yuridis, dekrit Gus Dur tersebut juga menciptakan problematika tersendiri. Mengapa? (1) sistem pemerintahan Indonesia ialah sistem presidensial dimana salah satu konsekuensi logis yakni presiden tidak dapat membubarkan parlemen sekalipun dalam bentuk maklumat, (2) partai golkar yang hendak dibekukan, sudah nampak jelas melanggar amanat konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 28E hasil amandemen kedua UUD 1945 setahun sebelum keluarnya maklumat Gusdur yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

 Namun argumentasi hukum di atas ditepis oleh Gus Dur dengan mengungkapkan bahwa dekrit itu wajar saja. “Kalau negara dalam bahaya dekrit diperlukan. Misal negara dalam bahaya akan terpecah belah atau disintegrasi maka dekrit perlu dikeluarkan,” ujar mantan ketua NU dalam wawancara yang disiarkan secara langsung oleh TVRI, Jakarta, Jumat (1/6/2001).  Artinya yang dijadikan pelajaran terkait dengan terbitnya dekrit Gus Dur selaku presiden ialah, apa yang menjadi substansi dari dekrit Presiden, jangan sampai Presiden mengeluarkan dekrit yang bertentangan dengan konstitusi dan sistem pemerintah Indonesia.


Urgensitas maklumat
Kembali kepada peristiwa yang terjadi 53 tahun silam, sebagaimana telah dipaparkan awal tulisan di atas. Menarik pernyataan mantan ketua Mahkamah Agung, Wiryono Prodjodikoro dalam suatu wawancara khusus pada 11 Juli 1959. Ia menyatakan, "Tindakan mendekritkan kembali ke UUD 1945 didasarkan pada suatu hakikat hukum tidak tertulis yang dalam bahasa Belanda dinamakan staatsnoodrecht. Ini berarti bahwa dalam hal keadaan ketatanegaraan tertentu, kita terpaksa mengadakan tindakan yang menyimpang dari peraturan yang ada."
 Dengan memahami pernyataan mantan ketua Mahkamah Agung dan setelah melihat dan memperhatikan secara seksama apa yang terjadi pada bangsa ini (yang dimulai dari perkembangan politik yang mengakibatkan kebuntuan politik akibat krisis konstitusional yang berlarut-larut yang mengakibatkan krisis moral, menghalangi upaya hukum disebabkan pertikaian politik kekuasaaan yang tidak mengindahkan norma perundang-undangan, dan sebagainya), maka perlulah direnungkan kembali hakekat dari “Dekrit Presiden” itu sendiri .
Artinya dalam konteks dewasa ini, urgensi “Dekrit”  tersebut, yakni sangat dibutuhkan mental presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara untuk mengeluarkan dekrit demi mengatasi problematika bangsa yang semakin karut marut. Presiden SBY khususnya dapat menggunakan haknya untuk mengeluarkan dekrit yakni memurnikan kembali UUD 1945, serta merestorasi lembaga legislator dan regulator untuk membuat produk hukum yang konsekuen dan konsisten terhadap das sein dan das sollen .
Mayoritas rakyat Indonesia tentu sangat memiliki ekspektasi yang sangat besar atas tindakan kepala pemerintahan yakni SBY bila hal tersebut benar-benar diimplementasikan. Begitu pula semua elemen masyarakat diharapkan mampu mempunyai pandangan yang sama, bahwa dengan pemberlakuan dekrit Presiden dimaksud,itu  merupakan tindakan yang sangat urgen sebagai sarana alternatif dalam penyelesaian krisis bangsa.