Tidak dapat dielakkan
bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dan
terpatri dalam konstitusi Republik Indonesia yakni UUD 1945 pasal 1 ayat (3).
Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa agama islam merupakan agama mayoritas
dalam tanah air indonesia.
Dalam suatu tatanan
hukum di Indonesia, Indonesia menganut mix
law system yang tidak hanya terpatri dalam perundang-undangan saja tetapi
memberlakukan pula sistem hukum Islam dimana eksistensinya termanifestasi dalam
UUD 1945 yang merupakan hukum dasar. Menilik bunyi pembukaan UUD 1945 alinea
ke-IV yakni “ketuhanan yang maha Esa”, secara implisit menyatakan bahwa adanya
pengakuan keagamaan, oleh karena agama islam merupakan agama mayoritas di
Indonesia, maka hukum Islam resmi menjadi salah satu sistem hukum yang berlaku
di Indonesia.
Historical
Piagam Jakarta
Piagam jakarta merupakan
sebuah dokumen bersejarah yang pernah mempunyai peranan penting bagi
pembentukkan NKRI, peranan penting ini berkaitan dengan perumusan pembukaan
undang-undang dasar 1945 dengan bunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, namun
keberadaan piagam jakarta ini, ditentang oleh segelintir pihak yakni Drs. M.
Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad
Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo, sehingga redaksi dari
pembukaan undang-undang dasar 1945 diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan adanya perubahan
pada redaksi pembukaan undang-undang dasar 1945 terkesan mengutip ayat 1 Q.S
Al-Ikhlas “Qulhuwallahu Ahad” yang berarti “Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa” semakin
menguatkan eksistensi hukum islam sebagai sistem hukum nasional bahkan menjadi
salah satu jalan alternatif dalam penyelesaian problematika hukum dewasa ini.
Urgensi
Hukum Islam
Mengutip pendapat
Mohammad Natsir yang menyatakan bahwa tujuan agama sebagai institusi yang
paling urgen ialah penegakkan syariah. Dengan adanya hal tersebut maka
implementasi hukum islam dalam hukum nasional dinilai sangat urgen
Terlebih dewasa ini,
sistem hukum indonesia semakin pasang surut dalam melakukan tindakan preventif
maupun represif terhadap problematika hukum yang terjadi. Hal ini diakibatkan,
adanya “kelonggaran” implementasi hukum islam dalam sistem hukum nasional di
Indonesia. Nilai-nilai syar’i dalam sistem hukum nasional semakin terabaikan.
Langkah strategis yang harus diambil oleh para penegak hukum ialah mereduksi
secara intensif hukum islam ke dalam hukum nasional.
Penulis mengambil
contoh negara Malaysia, penerapan hukum islam dilakukan oleh pemerintah dalam
membuat kebijakan peraturan perundang-undangan, salah satunya ialah memisahkan
antara penumpang wanita dan pria dalam penggunaan mobil angkutan umum. Hal ini
sebenarnya sangat tepat untuk direduksi oleh pemerintah Indonesia dalam membuat
suatu kebijakan peraturan perundang-undangan, guna untuk menekan jumlah kriminalisasi
pemerkosaan dalam mobil angkutan umum yang marak terjadi dewasa ini.
Selain implementasi
hukum islam dalam peraturan perundang-undangan, implementasi sangsi hukum islam
dianggap sangat mampu memberi efek jera pada terpidana seperti terpidana
koruptor, melalui pengQiyasan
koruptor dapat dihukum layaknya hukuman yang dijatuhkan oleh koruptor yakni
potong tangan, hal ini menurut penulis sangat efektif untuk meminimalisir
terjadinya tidak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya, sehingga menciptakan
negara Indonesia yang kondusif sesuai dengan apa yang selama ini menjadi
harapan bangsa Indonesia pada umumnya.