Minggu, 29 Desember 2013

semiotik

sedikit membahas isi buku bruggink, khusus pada bagian semiotik (ilmu tentang tanda-tanda)..semiotik dibagi dakam tiga bagian
1. sintaktik, keterkaitan antara tanda-tanda satu dengan lainn. fokus utamanya adalah bentuk dan struktur tanda. sintaktik berkaitan erat dengan gramatika.
2. semantik, fokus utamanya adalah keterkaitan tanda dan isi tanda (arti).
3. pragmatik, fokus utamanya adalah keerkaitan tanda dengan pemakainya (fungsi tanda)

Rabu, 27 Februari 2013

Degradasi Mutu Pendidikan Tinggi: Sebuah Kajian terhadap UUPT

"awalnya hanya mengkaji UUPT (UU Pendidikan Tinggi) kemudian dipersentasikan sebagai pengguguran tugas dan tanggung jawab sebagai paralegal LBH UNTAD, namun tiba-tiba saya rindu dengan bergelut di dunia tulis menulis, akhirnya hasil kajian saya, saya tuangkan dalam bentuk opini dan saya bawa ke dapur redaksi mercusuar, ALHAMDULILLAH pada hari ini (kamis), 228 februari 2013 opini saya lulus seleksi dapur redaksi mercusuar dan akhrnya di publish"

Mutu pendidikan tinggi dewasa ini benar-benar mengalami degradasi, akibat ini ditimbulkan setelah dihadirkan sebuah Undang-Undang terkait pendidikan tinggi, padahal perlu diperhatikan tiga motif dorongan lahirnya sebuah peraturan perundang-undangan di Indonesia yang harus dipenuhi guna menghindari adanya degradasi mutu objek yang hendak diatur. Motif pertama ialah, undang-undang hadir karena adanya amanat UUD 1945 yang notabene sebagai supremasi hukum Indonesia. Motif kedua ialah, undang-undang hadir akibat adanya perjanjian internasional yang patut untuk diratifikasi. Dan motif ketiga ialah, undang-undang hadir akibat desakkan kebutuhan masyarakat. Lantas apakah lahirnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UUPT) telah mencakupi ketiga motif yang telah penulis deskripsikan di atas?
Pada tanggal 13 juli 2012 silam, Rancangan Undang-undang pendidikan tinggi dilegalisasikan dalam bentuk Undang-Undang Pendidikan Tinggi nomor 12 tahun 2012. Menilik pada paragraf pertama, maka penulis mengemukakan satu per satu dari ketiga motif pembentukkan sebuah peraturan perundang-undangan.
Inkonstitusional UUPT
Pertama ialah, apakah pembentukkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi sudah sesuai dengan amanat UUD 1945? Dalam konsideran menimbang Undang-Undang Pendidikan Tinggi nomor 12 tahun 2012 pada point pertama, secara tersurat menyatakan bahwa adanya amanat pembukaan UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa” . Frase ini tidak hanya berorientasi pada kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan, namun lebih ditekankan kepada terjaminnya pendidikan yang berkualitas yang bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dipertegas di dalam batang tubuh UUD 1945, pasal 31 UUD 1945 yang menegaskan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Output yang diekspektasikan memang seharusnya terwujud, namun fakta dilapangan berbicara lain. Bisa tergambarkan  pada Pasal 62 (1) Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma.(2) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi.(3) Dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh perguruan tinggi. Konsekuensi logis dari semangat otonomi yang ditegaskan dalam pasal 62 UUPT adalah hilangnya peran negara secara perlahan tapi pasti untuk memenuhi tanggung jawab dalam hal pemenuhan hak konstitusional warga negara Indonesia.
Kemudian Pasal 73(1) Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain.(2) Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional.(6) Penerimaan Mahasiswa baru PTS untuk setiap Program Studi diatur oleh PTS masing-masing atau dapat mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru PTN secara nasional. Pengaturan dalam pasal ini tidak memuat kejelasan mengenai jaminan aksesibilitas dan membuka potensi untuk pemanfaatan bentuk lain (dalam ayat 1) dan penggunaan kata atau (dalam ayat 6) demi keuntungan ptn. Ketiadaan jaminan aksesibilitas pun ditunjukkan dengan ketidakjelasan seberapa besar pemerintah menanggung biaya calon mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan mahasiswa baru secara nasional.
Dan pasal 76(2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan: a. beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;b. bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. Pasal 83(1) Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pada pasal 76 ayat (2) huruf c dan Pasal 83 ayat (1) UUPT adalah bukti nyata bahwa negara tidak memiliki itikad baik untuk menjamin biaya pendidikan terjangkau dan pemerintah tidak menjamin akan mengalokasikan dana untuk pendidikan tinggi di Indonesia dalam alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun dalam hal ini DPR tidak memaksimalkan hak budgeting-nya untuk memperbaiki postur APBN yang lebih efisien sehingga dana pendidikan sebesar 20% dari APBN  digunakan secara sungguh-sungguh untuk mengembangkan pendidikan Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan tinggi.
UUPT dan Liberalisasi Pendidikan
Motif berikutnya, dapat kita ketahui dengan adanya keberadaan UU No 1 tahun 2007 tentang penanaman modal yang merupakan amanat dari perjanjian Indonesia dengan WTO (World Trade Organization). Hasil ratifikasi perjanjian Indonesia dengan WTO, mengindikasikan adanya liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat ditemukan dalam persetujuan Indonesia terhadap 12 bidang jasa yang dikomersialkan salah satunya ialah pendidikan dengan meratifikasi GATS pada tahun 2005. Kemudian WTO menyediakan 4 mode jasa pendidikan yakni Mode (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program, Mode (2) Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal dan Mode (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal.
Implementasi dari keterikatan Indonesia terhadap WTO dan GATS tertuang dalam: Pasal 50(1) Kerja sama internasional pendidikan tinggi merupakan proses interaksi dalam pengintegrasian dimensi internasional ke dalam kegiatan akademik untuk berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan. Indonesia memiliki dua kedaulatan yakni kedaulatan ke dalam dan kedaulatan ke luar. Kedaulatan ke dalam adalah membangun kedaulatan bangsa Indonesia, memperkuat basis nasional. Serta yang dimaksud dengan kedaulatan ke luar adalah bangsa Indonesia membangun sinergitas kerjasama dengan negara-negara lainnya. Pada pasal 50 ayat 1, rupanya  pemerintah hanya berorientasi pada membangun kedaulatan ke luar, padahal seharusnya terlebih dahulu pemerintah memperbaharui kedaulatan ke dalam dengan memperkuat basis nasional melalui upaya pendidikan. Upaya pendidikan yang seharusnya ditempuh untuk menguatkan basis nasional terlebih dahulu sudah diintervensi oleh dimensi internasional. Olehnya itu hemat penulis, frasa “tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan” sama sekali tidak memiliki power kepastian bahwa kita tidak akan kehilangan nilai-nilai keindonesiaan ketika pendidikan tinggi diintegrasikan ke dalam dimensi internasional.  
Dan Pasal 90 (1)Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan4) Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: b. berprinsip nirlaba. Nampaknya dalam kerangka pasal 90(1)  rencana“berdagang” pendidikan dalam kerangka WTO jelas ingin memindahkan tanggung jawab Negara dalam pendidikan kepada korporasi dan hukum pasar neoliberal.

Kebutuhan masyarakat vs UUPT
Pada motif terakhir, sebenarnya penulis sedikit menekankan pada tujuan terbentuknya hukum menurut Gustav Radbruch salah satunya yakni tercapainya keadilan. Elemen keadilan semata-mata diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Menilik pasal per pasal dalam UUPT, sudah kita sadari bahwa UUPT dihadirkan ke dunia pendidikan tinggi hanya berorientasi pada kebutuhan segelintir pihak yang hendak meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengkomoditaskan pendidikan kepada pihak-pihak kapitalisme.
Terlebih UUPT benar-benar telah mencederai rasa keadilan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Bayangkan saja, hadirnya UUPT menutup kemungkinan 70% masyarakat jelata untuk mengenyam pendidikan tingkat tinggi. Hemat penulis, pada saat ini negara masih mengabaikan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh terhadap pendidikan tinggi. Olehnya itu, dibutuhkan upaya untuk menghapuskan UUPT melalui jalur judicial review. Sehingga semangat untuk menghapuskan degradasi mutu pendidikan tinggi bisa tercapai secara maksimum. Semoga.

Kamis, 24 Januari 2013

PROSES PENAHANAN: PELANGGARAN HAM


 this is my sixth article's..berhasil dipublish oleh media massa "Mercusuar"
Ciri negara hukum menurut friederich Julius Stahl salah satunya ialah bahwa adanya penjaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 merefleksikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum memang tidak dapat terlepas dari salah satu ciri yang telah dikemukakan di atas. Terlebih upaya perlindungan hak asasi manusiaacap kali dikumandangkan oleh semua pihak.
Salah satu lingkup daripada perlindungan hak asasi manusia yakni adanya perlindungan terhadap hak untuk tidak disiksa serta hak untuk hidup bebas yang merupakan non derogable rights atau hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lantas, bagaimana dengan mekanisme penegakkan hukum khususnya dalam proses penahanan yang terjadi di republikini? Sepertinya mekanisme penahanan menjadi sangat mudahserta kewajiban mutlak dari para penegak hukum sehingga terkesan adanya pelanggaran HAMyang menjadi sebuah indikator dalam proses penahanan.
Dibuktikan dari beberapa contoh yang faktual yang penulis sajikanyakni, penahanan yang dilakukan oleh tim penyidik kepada seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri. Dalam proses pengabdian kepada masyarakat, ia disinyalir telah melaksanakan tindak pidana berupa doenpleger atau menyuruh melakukan tindak pidana pengeroyokkan. Padahal dalam pembuktiannya ia sama sekali tidak terbukti telah melaksanakantindak pidana tersebut.
Bukti berikutnya yakni, tim penyidik melakukan proses penahanan terhadap seorang guru yang disinyalir sebagai pelaku dalam tindak pidana penembakkan. Dalam proses penahanan, tim penyidik melakukan tindakan tidak terhormat yakni pemukulan terhadap tersangka dengan alasan tersangka dipaksa untuk mengaku atas tindak pidana  yang sebenarnya bukan merupakan tindakan yang ia lakukan. Tatkala bukti-bukti telah terkumpulkan, tim penyidik kemudian melepas tahanan tersebut sembari meminta maaf  atas kekeliruan penangkapan dan penahanan tanpa adanya proses ganti kerugian serta rehabilitasi.
Berdasarkan kedua bukti di atas dapat disimpulkan bahwa inilah potret penegakkan hukum yang terjadi di republik Indonesia. Dengan adanya potret kebobrokkan para penegak hukum khususnya pelaku penahanan, penulis mengkaji perihal dengan mekanisme penahanan ini bersumber dari KUHAP, sekalipun dilatarbelakangi oleh prinsip-prinsip HAM  yang terkandung dalam Declaration Human of Rights, tetapi dalam pengimplementasian yang dilakukan oleh para penegak hukum masih dikawal oleh paradigma dan mekanisme klasik yang bersumber dari Herzie/ne Island Reglement. Olehnya itu timbullah kekeliruan perspektif terhadap filosofi penahanan yang menyamakan dengan filosofi pemidanaan. Padahal antara filosofi penahanan dan pemidanaan sangat bertolak belakang. Dalam flosofi pemidanaan terdapat asas praduga tak bersalah yang menegaskan bahwa seorang belum dinyatakan  bersalah sampai putusan hakim yang bersifat inkracht gen bewisjde(mengikat secara hukum), sehingga tidak dapat dipidana. Sedangkan filosofi penahanan, mengabaikan asas praduga tak bersalah, dan menganggap bahwa tersangka sudah dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan hakim.
Barangkali para penegak hukum di republik ini perlu untuk mengintrospeksi serta mengubah paradigma klasik atas mekanisme penahanan para tersangka atau terdakwa untuk tidak menjadikankeharusan mutlak dalam proses pencarian fakta. Kemudian para penegak hukum melakukan upaya untuk mendikotomikan antara filosofi penahanan dan filosofi pemidanaan. Bahwa perspektif kedua filosofi ini bukan merupakan satu kesatuan, namun dua hal yang bertolak belakang. Sehingga dalam proses pemidanaanlebih menekankan pada aspek perlndungan hak asasi manusia.