this is my sixth article's..berhasil dipublish oleh media massa "Mercusuar"
Ciri
negara hukum menurut friederich Julius Stahl salah satunya ialah bahwa adanya
penjaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 merefleksikan bahwa Indonesia sebagai
negara hukum memang tidak dapat terlepas dari salah satu ciri yang telah
dikemukakan di atas. Terlebih upaya perlindungan hak asasi manusiaacap kali
dikumandangkan oleh semua pihak.
Salah
satu lingkup daripada perlindungan hak asasi manusia yakni adanya perlindungan
terhadap hak untuk tidak disiksa serta hak untuk hidup bebas yang merupakan non
derogable rights atau hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Lantas, bagaimana dengan mekanisme penegakkan hukum khususnya dalam proses
penahanan yang terjadi di republikini? Sepertinya mekanisme penahanan menjadi sangat
mudahserta kewajiban mutlak dari para penegak hukum sehingga terkesan adanya
pelanggaran HAMyang menjadi sebuah indikator dalam proses penahanan.
Dibuktikan
dari beberapa contoh yang faktual yang penulis sajikanyakni, penahanan yang dilakukan
oleh tim penyidik kepada seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri.
Dalam proses pengabdian kepada masyarakat, ia disinyalir telah melaksanakan
tindak pidana berupa doenpleger atau menyuruh melakukan tindak pidana
pengeroyokkan. Padahal dalam pembuktiannya ia sama sekali tidak terbukti telah
melaksanakantindak pidana tersebut.
Bukti
berikutnya yakni, tim penyidik melakukan proses penahanan terhadap seorang guru
yang disinyalir sebagai pelaku dalam tindak pidana penembakkan. Dalam proses
penahanan, tim penyidik melakukan tindakan tidak terhormat yakni pemukulan
terhadap tersangka dengan alasan tersangka dipaksa untuk mengaku atas tindak
pidana yang sebenarnya bukan merupakan
tindakan yang ia lakukan. Tatkala bukti-bukti telah terkumpulkan, tim penyidik
kemudian melepas tahanan tersebut sembari meminta maaf atas kekeliruan penangkapan dan penahanan
tanpa adanya proses ganti kerugian serta rehabilitasi.
Berdasarkan
kedua bukti di atas dapat disimpulkan bahwa inilah potret penegakkan hukum yang
terjadi di republik Indonesia. Dengan adanya potret kebobrokkan para penegak
hukum khususnya pelaku penahanan, penulis mengkaji perihal dengan mekanisme
penahanan ini bersumber dari KUHAP, sekalipun dilatarbelakangi oleh
prinsip-prinsip HAM yang terkandung
dalam Declaration Human of Rights, tetapi dalam pengimplementasian yang
dilakukan oleh para penegak hukum masih dikawal oleh paradigma dan mekanisme
klasik yang bersumber dari Herzie/ne Island Reglement. Olehnya itu timbullah kekeliruan
perspektif terhadap filosofi penahanan yang menyamakan dengan filosofi
pemidanaan. Padahal antara filosofi penahanan dan pemidanaan sangat bertolak
belakang. Dalam flosofi pemidanaan terdapat asas praduga tak bersalah yang
menegaskan bahwa seorang belum dinyatakan
bersalah sampai putusan hakim yang bersifat inkracht gen
bewisjde(mengikat secara hukum), sehingga tidak dapat dipidana. Sedangkan
filosofi penahanan, mengabaikan asas praduga tak bersalah, dan menganggap bahwa
tersangka sudah dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan hakim.
Barangkali
para penegak hukum di republik ini perlu untuk mengintrospeksi serta mengubah
paradigma klasik atas mekanisme penahanan para tersangka atau terdakwa untuk
tidak menjadikankeharusan mutlak dalam proses pencarian fakta. Kemudian para
penegak hukum melakukan upaya untuk mendikotomikan antara filosofi penahanan
dan filosofi pemidanaan. Bahwa perspektif kedua filosofi ini bukan merupakan
satu kesatuan, namun dua hal yang bertolak belakang. Sehingga dalam proses
pemidanaanlebih menekankan pada aspek perlndungan hak asasi manusia.