Senin, 19 Maret 2012

URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

Beberapa fakta obyektif penerapan sistem ekonomi syariah yang mendorong perlunya dibentuk fundamental hukum ekonomi berwawasan syariah dapat dikemukakan dengan menyebutkan beberapa perkembangan historis sebagai berikut:
A . Perkembangan Historis Penerapan Ekonomi Syariah
Menurut  Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, yang membahas hukum Islam dan keuangan, pemikiran awal keuangan Islami bukan suatu temuan (invention) abad ini, yang ditandai dengan gerakan politik Islam yang diprakarsai oleh para pemikir ekstrim (extrimist political movement), melainkan berakar dari perintah al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad (Saw), seperti halnya pemikiran yang mengilhami terbentuknya hukum Islam di bidang perkawinan. Dalam perjalanan waktu berabad-abad lamanya, praktik keuangan kuno yang diterapkan di negara-negara Islam mengadopsi sistem yang dipaksakan oleh kolonial dengan peraturan yang dibentuk oleh kekuasaan Barat. Dengan pengaruh yang begitu kuat dari Eropa, kebanyakan negara-negara Islam menerapkan sistem perbankan dan praktik bisnis yang didominasi oleh sistem Barat. Dapat dikatakan bahwa permulaan penerapan sistem keuangan Islam periode moderen sekarang ini terjadi seiring dengan independensi negara – negara Islam  setelah Perang Dunia Kedua.
Berdasarkan catatan yang ada, institusi keuangan islami pertama adalah proyek Mit Ghamr yang didirikan di Mesir pada tahun 1963, yang segera disusul oleh Nasser Social Bank pada tahun 1971. Pendirian Islamic Development Bank (1973) yang diprakarsai oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang sahamnya sebagian dipegang pemerintah dan sebagian lainnya oleh swasta,  merupakan tiang pancang pembangunan sistem perbankan moderen. Didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari politik dan budaya yang didominasi Barat dan kenginan untuk melaksanakan suatu hal berdasarkan prinsip Syariah, di berbagai negara kemudian telah berdiri beberapa bank berdasarkan prinsip Syariah.
Gagasan suatu sistem ekonomi Islam berangkat dari keprihatinan dunia Islam tentang penerapan sistem bunga pada bank konvensional yang oleh sebagian kalangan muslim dianggap termasuk dalam kategori riba. Oleh karena itu pada dasawarsa 70-an, ketika untuk pertama kali muncul pemikiran tentang sistem ekonomi Islam dalam Konferensi Internasional tentang Ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1976.
Institusi yang menawarkan jasa keuangan islami mulai bermunculan pada tahun 1960-an secara terpencil, tapi pergerakan perbankan dan keuangan islami mendapatkan momentum pertumbuhan dengan didirikannya Dubai Islamic Bank dan Islamic Development Bank yang berbasis di Jeddah pada tahun 1975. Dalam proses evolusinya, model teoritis awal dari mudharabah dua tingkat dikembangkan menjadi model serbaguna yang memungkinkan Institusi Finansial Islami (IFI) melakukan perdagangan dan bisnis pembiayaan guna mendapatkan keuntungan dan membagikan bagian yang sama ke deposan/investor. Guna melengkapi siklus keuangan islami, mulai bermunculanlah institusi yang menawarkan jasa Takaful pada tahun 1979 sebagai pengganti sisten asuransi moderen.
Selain meningkatnyya keterlibatan pakar Syariah, hasil kerja kreatif institusi penelitian seperti IRTI (IDB), dan penerbitan Standar Syariah oleh AAOIFI (Bahrain) yang menyediakan landasan bagi disiplin keuangan yang mulai berkembang, partisipasi institusi perbankan utama dunia seperti HSBC, BNP Paribas dan Citigroup pada  tahun 1990-an memberikan daya dorong yang untuk mentransformasikan dari disiplin ilmu yang kecil menjadi idustri global. Pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) pada tahun 2002 yang berfungsi sebagai institusi yang menentukan standar keuangan islami yang membukakan jalan bagi Keuangan Islami sebagai proposisi yang dapat diterima secara global. Ia menyediakan dorongan atas promosi dan standardisaasi operasiopnal finansial dari Institusi Finansial Islami IFI) yang mencakup konsultasi di antara otoritas pembuat peraturan dan institusi finansial internasional. Kemunculan sukuk sebagai investasi dan instrumen menejemen likuiditas dalam enam tahun terakhir tidak hanya cenderung melengkapi siklus investasi dalam struktur finansial yang mulai tumbuh, tapi juga menyediakan daya dorong untuk perkembangnya dengan potensi yang besar di hadapannya.
B. Perkembangan Legislasi Syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan
Sejak zaman proklamasi sampai dekade 1990-an, kata syariah dianggap tabu untuk dimasukkan dalam khazanah perundang-undangan. Stigma syariah dalam wacana politik dan hukum barangkali  karena adanya phobia (kekuatiran) bahwa implementasi syariah akan menuju kepada pembentukan negara Islam, atau setidak-tidaknya “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Namun dengan perkembangan yang terjadi pada penggalan akhir dari rezim Orde Baru, pemerintah dan kebijakan politik hukum nasaional mulai “toleran” dengan kata tersebut, sehingga stigamasasi syariah pelan-pelan hapus.
Berdasarkan penelusuran (sementara) pada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, saat ini terdapat  108 peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Bank Indonesia
Penerapan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang cukup signifikan untuk diamati, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan, peradilan, surat berharga dan peraturan di bidang perseroan terbatas.
  1. Rintisan penerapan ekonomi (keuangan) syariah tingkat nasional diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, yang secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yang memungkinkan penerapan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kedua  undang-undang tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel. Pengembangan bank syariah dapat meningkatklan ketahanan sistem perbankan nasional, namun di sisi lain, dapat membawa konsekuensi  terjadinya benturan hukum yang disebabkan adanya perbedaan yang prinsip antara ketentuan hukum yang berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah. Mengingat luasnya substansi perbankan syariah (misalnya, perizinan, kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi, manajemen permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan rahasia bank, penilaian kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang, likuidasi, dan sanksi pidana), Dhani Gunawan menyimpulkan bahwa eksistensi perbankan syariah memerlukan landasan hukum yang kuat dalam bentuk undang-undang.
  2. Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai dasar hukum pengembangan instrumen keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN sebagai alternatif instrumen pembiayaan anggaran negara, maka sistem perundang-undang nasional telah memberikan landasan hukum bagi upaya memobilisasi dana publik secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya pengembangan instrumen pembiayaan tersebut bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan bench mark instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6) mendorong pertumbuihan pasar keuangan syariah di Indonesia. SBSN (Sukuk Negara) yang merupakan surat berharga berdasarkan prinsip syariah, sehingga berbagai bentuk akad sukuk yang dikenal dalam ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna’, dan lain-lain) dapat diterapkan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2008.
  3. Perkembangan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan oleh badan hukum perseroan terbatas merupakan salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan agar kegiatan perseroan tidak melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah (umpama larangan riba - bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang - maysir - unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan – dan gharar - unsur ketidakpastian  yang antara lain denngan penyerahan, kualitas dan kuantitas.
  4. Sejalan dengan perkembangan legislasi syariah di atas, maka legislasi di bidang badan peradilan juga perlu “menyesuaikan diri”. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tersebut adalah “perluasan kewenangan Pengadilan Agama” dengan alasan “sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, khususnya masyarakat muslim.” Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama mencakup bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

C. Pemikiran dan Urgensi Kodifikasi Hukum
1. Pengertian Kodifikasi
Dalam Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of laws yang berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke dalam suatu kitab hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).
Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang.” (menyusun dan membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang dalam bidang hukum dengan ruang lingkup yang luas).
M.J. Koenen dan J.B. Drewes mengartikan codificatie sebagai vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek (menyatukan berbagai peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang).
Henry Campbell Black mengartikan bahwa:
 codification adalah the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute. (proses mengumpulkan dan menyusun secara sistematik hukum-hukum negara atau peraturan dan regulasi yang mencakup bidang tertentu atau subyek (isi) hukum atau praktik, yang  biasanya menurut subyek (isi)nya.
- code sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws, rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force consolidated and classified according to subject matter(himpunan, kompendium, atau reveisi  hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi dari semua hukum yang berlaku tetap yang dikonsolidasikan dan dikelompokkan menurut isinya. Maka code (antara lain) berarti kitab undang-undang (wetboek).
Dari berbagai kutipan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi adalah proses menghimpun dan menyusun secara sistimatik berbagai hukum, regulasi atau peraturan di bidang tertentu yang ditetapkan oleh negara. Produk dari kegiatan kodifikasi dapat berupa kitab undang-undang (wet, code).
Bagaimana membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara teknis yuridis kedua istilah tersebut agak sulit dibedakan. Namun dengan memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tersebut berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their use.” (membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang muncul dalam buku, dengan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan yang didesain untuk menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap berbagai aturan yang sudah ada sebelumnya (preexisting statutes) dengan menjelaskan bagian mana (pasal atau paragraf) yang sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya.
Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari berbagai definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi pada dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yang sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Namun dalam perpestif sejarah, seperti akan diuraikan di bawah ini, terdapat kesan bahwa kodifikasi berarti membentuk suatu undang-undang atau peraturan. 
2. Asal Usul Kodifikasi
Mengkodifikasikan undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk kepada produk hukum abad ke 18 dan 19, yang ditandai dengan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti dengan berbagai kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Namun, sebenarnya kegiatan para ilmuwan hukum di bidang kodifikasi telah ada sejak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi.
Dalam filsafat hukum alam yang berlatar belakang Plato dan Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja berdasarkan pada perjanjian yang dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka sepakat lebih dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan kepada koltivitas (pactum unionis). Sebelum paham hukum alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang sering dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum dengan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi masyarakat. Hukum Rumawi yang religious dan agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, dalam arti hukum dipandang sebagai norma. Sejak awal sampai akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai dengan kodifikasi yang disebut twaalftafelen (meja atau batu hukum dua belas) dan diakhiri juga dengan kodifikasi yaitu  yang disebut Corpus Iuris Civilis.

PROSEDUR PERIZINAN USAHA KECIL

Sebelum melakukan pendaftaran tempat usaha, hal-hal yang perlu diperhatikan:

a.     Perjanjian Sewa Menyewa
Perjanjian yang dilakukan oleh pemilik tanah dan Anda, baik berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian lisan harus diperhatikan bahwa objek dari perjanjian tersebut digunakan sebagai kegiatan usaha. Berdasarkan Pasal 1554 jo Pasal 1560 KUHPer, Anda sebagai penyewa wajib untuk menggunakan objek sewa sebagaimana tujuan sewa yang diberikan oleh si pemberi sewa dan tidak diperkenankan untuk mengubah wujud maupun tataan objek yang disewa. Apabila Anda sebagai penyewa tidak menggunakan objek sewa sesuai dengan perjanjian sewa hingga menerbitkan suatu kerugian kepada pihak pemberi sewa, maka pemberi sewa dapat meminta pembatalan perjanjian sewa kepada Anda.
 b.     Izin Mendirikan Bangunan ("IMB")
Sebagai bahan perbandingan, apabila bangunan berada di Provinsi Jakarta, maka berdasarkan Pasal 2 Kepgub 76/2000, setiap kegiatan yang akan membangun bangunan/bangunan-bangunan wajib memiliki IMB. Permohonan IMB ini dapat diajukan secara tertulis kepada Gubernur melalui Suku Dinas untuk :
a.      Bangunan Rumah Tinggal;
b.      Bangunan Bukan Rumah Tinggal;
c.      Bangunan-Bangunan.
 Perlu diperhatikan apakah IMB yang dimiliki oleh pemilik tanah dapat digunakan sebagai tempat usaha atau hanya izin untuk membangun rumah tinggal.
Apabila perjanjian sewa dan IMB yang ada sudah sesuai dengan peruntukan kegiatan usaha, maka Anda dapat melaporkan tempat usaha yang Anda miliki lakukan kepada Pihak Kelurahan setempat.
 2.   Perizinan Kegiatan Usaha
Dengan asumsi bahwa bentuk usaha yang dilakukan adalah Perusahaan Perorangan, maka berdasarkan Pasal 1624 KUHPer, persekutuan berlaku sejak adanya perjanjian, jika dalam perjanjian ini tidak disyaratkan syarat lain. Adapun perjanjian yang dimaksud di sini dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian secara lisan. Sehingga, untuk Perusahaan Peorangan tidak diperlukan adanya akta perusahaan.

Lebih lanjut terkait perizinan kegiatan usaha, dapat dilengkapi dokumen sebagai berikut :
1.   Tanda Daftar Perusahaan  ("TDP")
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 3/1982 yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan
Adapun yang dimaksud dengan Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba;
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Permendag 36/2007, diatur bahwa setiap Perusahaan yang berbentuk :
a.    Perseroan Terbatas;
b.    Koperasi;
c.    Persekutuan Komanditer (CV);
d.    Firma (Fa);
e.    Perorangan;
f.     Bentuk Lainnya; dan
g.    Perusahaan Asing dengan status Kantor Pusat, Kantor Tunggal, Kantor Cabang, Kantor Pembantu, Anak Perusahaan, dan Perwakilan Perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilyah Republik Indonesia
Sebagai asumsi apabila bentuk perusahaan yang ingin dibentuk adalah salah satu dari bentuk usaha yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permendag 37/07, maka daftar perusahaan wajib untuk dilaksanakan. Apabila bentuk perusahaan yang akan dibentuk adalah perusahaan kecil, maka berdasarkan Pasal 6 UU 3/1982 jo Pasal 4 Permendag 36/2007 terdapat pengecualian kewajiban untuk mendaftarkan daftar perusahaan bagi perusahaan kecil, namun apabila perusahaan kecil tetap dapat memperoleh TDP untuk kepentingan tertentu, apabila perusahaan kecil tersebut menghendaki.
Lebih lanjut yang dimaksud dengan perusahanan kecil adalah:
1.    Perusahaan yang dijalankan perusahaan yang diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pribadi, pemiliknya sendiri, atau yang mempekerjakan hanya anggota keluarganya sendiri;
2.    Perusahaan yang tidak diwajibkan memiliki izin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; atau         
3.    Perusahaan yang benar-benar hanya sekedar untuk memenuhi keperluan nafkah sehari-hari pemiliknya.
Apabila perusahaan yang akan dibentuk merupakan perusahaan kecil pada dasarnya tidak diwajibkan untuk melakukan pendaftaran perusahaan, namun apabila dihendaki untuk kepentingan tertentu, tetap dapat mengajukan permohonan pendaftaran perusahaan tersebut.
 2.   Surat Izin Usaha Perdagangan ("SIUP")
Setiap Perusahaan yang melakukan usaha perdangangan wajib untuk memilki SIUP. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c Permendag 46/2009, terdapat pengecualian kewajiban  memiliki SIUP terhadap Perusahaan Perdagangan Mikro dengan kriteria:
a.   Usaha Perseorangan atau persekutuan;
b.   Kegiatan usaha diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota keluarga terdekat; dan
c.   Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan.
 Namun, Perusahaan Perdagangan Mikro tetap dapat memperoleh SIUP apabila dikehendaki oleh Perusahaan tersebut.
Permohonan SIUP ini diajukan kepada Pejabat Penerbit SIUP dengan melampirkan surat permohonan yang ditandatangani oleh Pemilik/Pengurus Perusahaan di atas materai yang cukup serta dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam Lampiran II Permendag 36/2007.
 3.   Nomor Pokok Wajib Pajak ("NPWP")
Memiliki NPWP atas nama pemilik/ penanggung jawab perusahaan.
4.   Izin Gangguan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Permendagri 27/2009, yang dimaksud dengan Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi/badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Berdasarkan Pasal 5 Permendagri 27/2009 dokumen persyaratan Izin Gangguan yaitu sebagai berikut :
a.  Formulir Permohonan, yang sedikitnya memuat :
(i)          Nama Penanggung Jawab Usaha/Kegiatan;
(ii)        Nama Perusahaan;
(iii)      Alamat Perusahaan;
(iv)      Bidang usaha/kegiatan;
(v)      Lokasi Kegiatan;
(vi)      Nomor Telepon perusahaan;
(vii)       Wakil Perusahaan yang dapat dihubungi;
(viii)           Ketersediaan sarana dan prasarana teknis yang diperlukan dalam menjalankan usaha;
(ix)      Pernyataan pemohon izin tentang kesanggupan memenuhi ketentuan    perundang-undangan
b.      Foto copy KTP Pemohon;
c.  Foto copy Surat Izin Lokasi/Domisili;
d.      Foto copy NPWP;
e.  Apabila pemohon adalah pemilik tempat usaha, maka dokumen yang wajib dilampirkan adalah:
(i)          Foto copy Akta Perusahaan (apabila merupakan badan usaha atau badan hukum);
(ii)        Foto copy PBB terakhir
(iii)      Foto copy Surat Kepemilikan tanah;
(iv)      Foto copy IMB/IPB/KRK.
f.  Apabila pemohon adalah penyewa tempat usaha, maka dokumen yang diwajibkan adalah surat perjanjian sewa dengan pemilik tempat usaha.
g.      Surat Persetujuan Tetangga yang diketahui RT/RW setempat.
Izin Gangguan ini diberikan oleh Bupati/Walikota, khusus untuk DKI Jakarta pemberian izin gangguan merupakan kewenangan Gubernur.
Ketentuan mengenai besarnya retribusi Izin Gangguan yang diterapkan di Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan Pasal 13 (a) Perda 1/2006.

TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN SUATU KAJIAN KOMPREHENSIF

Istilah, pengertian dan pemahaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) selama ini masih selalu menjadi pedebatan yang hangat oleh para pendukung dan para penentangnya. Kedua kutup yang  berbeda  pandangan  tersebut  masing-masing mempunyai argumentasi yang bertentangan satu terhadap yang lain sesuai dengan kedudukan dan kepentingannya.
Salah satu perbedaan tajam yang ada antara lain adalah   mengenai :
- Apakah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan/TJSP itu berada pada ranah etika (etika bisnis) atau harus berada pada ranah hukum ?
- Apakah TJSP perlu diatur dalam perundangan atau tidak perlu diatur secara formal disertai dengan sanksi-sanksi yang tegas ?
Pendukung dan penentang TJSP pada dasarnya mempunyai alasan masing-masing, karena latar belakang pencapaian tujuan dan sasaran yang berbeda dalam kepentingan yang berhadapan.
Para  pendukung konsep regulasi maupun penerapan TJSP secara jelas dan tegas, berpendapat bahwa TJSP tersebut sesungguhnya untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan, sehingga harus diatur dengan jelas dan tegas. Sedangkan dari para penentangnya, menyatakan tidak perlu diatur dengan tegas, serahkan saja kepada para pelaku.
Ke depan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, apabila dilaksanakan dengan benar, akan memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan, termasuk sumber daya manusia, sumber daya alam dan seluruh pemangku kepentingan dalam masyarakat. Perusahaan yang mampu sebagai penyerap tenaga kerja, mempunyai kemampuan memberikan peningkatan daya beli masyarakat, yang secara langsung atau tidak, dapat mewujudkan pertumbuhan lingkungan dan seterusnya. Mengingat kegiatan perusahaan itu sifatnya simultan, maka keberadaan perusahaan yang taat lingkungan akan lebih bermakna.
Pada dasarnya setiap kegiatan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan yang lain. Meskipun demikian nilai positif tersebut dapat mendorong terjadinya tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang akhirnya mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan, masyarakat sekitar atau masyarakat lain yang lebih luas. Nilai negatif yang dimaksud adalah seberapa jauh kegiatan perusahaan yang bersangkutan mempunyai potensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Atau seberapa luas perusahaan lingkungan terjadi sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan.
Perusahaan yang pada satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu saat yang sama dapat menjadi sumber petaka pada lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau bahkan menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan lain yang lebih luas.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah :
- Apakah keberadaan perusahaan di dalam masyarakat, mengandung nilai positif dan negatif yang cukup berimbang, sehingga antara manfaat dan kekurangan tidak menyebabkan masalah bagi masyarakat   sebagai pemangku kepentingan?.
- Apakah perimbangan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat cukup berimbang dan adil?  Dan apakah tolok ukurnya?
- Apakah perangkat peraturan yang ada relatif cukup mengatur tercapainya perimbangan dengan baik?.
Jadi perusahaan akan mempunyai dampak positif bagi kehidupan pada masa-masa yang akan datang dengan terpeliharanya lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan yang lain sehingga akan menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya para penentang pengaturan dan pelaksanaan TJSP secara formal berpendapat apabila tanggung jawab tersebut harus diatur secara formal, disertai sanksi dan penegakan hukum yang riil. Hal itu akan menjadi beban perusahaan. Beban perusahaan akhirnya akan menjadi beban masyarakat sebagai pemangku kepentingan. Oleh karena itu TJSP sangat tepat apabila tetap sebagai tanggung jawab moral, dengan semua konsekuensinya.
Indonesia sebagai Negara berkembang dan sebagai Negara tujuan investasi internasional serta sebagai Negara tujuan pemasaran produk dari negara maju, sadar bahwa sangat membutuhkan perangkat peraturan yang sifatnya memberi perlindungan kepada kepentingan domestik.
Salah satu yang telah dilakukan oleh Republik Indonesia, dalam rangka melindungi lingkungan dan ekosistem pada umumnya dari upaya pemanfaatan sumber daya alam agar dapat terjaga dengan baik, yaitu dengan mencantumkannya ketentuan TJSP dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang baru.
Sejak RUU PT disosialisasikan sudah muncul pandangan-pandangan yang saling bertentangan, antara pendukung dan penentang. Konsep CSR, polemik muncul dari dua kepentingan yang berhadapan. Setelah lebih dari satu tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, muncul lagi “perlawanan terhadap Ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas”. Hal ini ditandai dengan adanya permohon pembatalan pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Penentangan tersebut didasarkan pada satu perhitungan bisnis, yaitu mengenai beban-beban yang harus ditanggung oleh perusahaan. Dengan adanya beban tanggung jawab sosial tersebut, perusahaan, pengusaha akan mempunyai beban baru yang lebih berat, karena ketentuan-ketentuan yang sangat mengikat yang harus dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, dapat terjadi 2 (dua) kemungkinan sebagai berikut :
Pertama, pengusaha akan mencari konpensasi baru dengan alternative melakukan eksploitasi lingkungan secara lebih efektif dan efisien lagi dengan segala dampak negatifnya.
Kedua, pengusaha akan lebih berhati-hati lagi tidak melanggar ketentuan undang-undang yang mempunyai risiko legal dan ekonomi.
Pilihan pertama, akan diambil apabila perhitungan ekonomi menjadi sangat dominan serta kesempatan untuk itu berpeluang besar. Kemungkinan akan menimbulkan beban pada alam menjadi lebih besar. Untuk itu dibutuhkan pengawasan penegak hukum dengan ekstra ketat dan waspada. Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi, akan meningkatkan beban konsumen, tetapi aman bagi perusahaan dan lingkungan.

A.     Eksistensi Perusahaan dan Lingkungannya
Pada dasarnya, perusahaan merupakan organ masyarakat yang mempunyai beberapa fungsi yang sangat penting bagi pemangku kepentingan pada umumnya :
  1. Perusahaan pasti selalu  memenuhi kebutuhan masyarakat, dari kebutuhan primer, sekunder dan tersier bahkan sampai kebutuhan-kebutuhan apapun.
  2. Perusahaan mampu menyerap tenaga kerja dan membuka lapangan pekerjaan baru.
  3. Perusahaan adalah agen pembaharuan dan penerapan Iptek yang paling efisien.
  4. Perusahaan melakukan pemasaran barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan perusahaan sangat dibutuhkan dan mempunyai nilai yang sangat penting bagi masyarakat pada umumnya dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Jadi  tanpa organ, yang dalam hal ini perusahaan yang mempunyai berbagai fungsi tersebut, masyarakat tidak mungkin tidak harus menerima, baik organ demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Meskipun demikian, betapa baik dan pentingnya perusahaan, tetap mempunyai dua sisi yang berbeda.
Perusahaan sebagai organ masyarakat mempunyai dua sisi positif dan penting bagi kehidupan dan masa depan manusia, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Tetapi juga mempunyai satu sisi negative, yang menimbulkan dampak negative pada banyak hal. Dari sisi positifnya perusahaan mampu melakukan banyak hal, antara lain :
Pertama, perusahaan selalu menawarkan kebutuhan masyarakat dengan semua konsep inovasinya, yang selanjutnya akan mendorong pembaharuan dan mengadopsi perkembangan Iptek  secara berkesinambungan dan terus menerus yang menciptakan kesejahteraan bersama.
Kedua, perusahaan merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi di dalam masyarakat yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan juga mampu melahirkan kesejahteraan baru.
Dari aspek sosial dan ekonomi, sudah jelas dimana eksistensi perusahaan (apapun bentuk dan statusnya). Tetapi dari aspek hukum keberadaan perusahaan masih membutuhkan hal utama yaitu legalitas hukum.
Perusahaan legalitas dimaksud meliputi : harus dipenuhi adalah :
  1. Legalitas institusional, yaitu persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi badan-badan usaha, apakah berstatus badan hukum atau tidak, harus memenuhi persyaratan dan prosedur sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku, sehingga institusi yang bersangkutan sah menurut hukum.
  2. Legalitas operasional, yaitu persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi bagi badan-badan usaha yang bersangkutan, baik yang berbadan hukum maupun badan hukum agar dapat melakukan kegiatan perusahaan (dapat beroperasi secara sah).

B.     Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai Suatu Konsep
Perjalanan kehidupan manusia dan kemanusiaan yang panjang, akhirnya menghasilkan suatu kearifan manusia terhadap kemanusiaan dan peradaban serta lingkungannya masing-masing. Dari perjalanan peradaban, sampailah pada satu pemikiran dasar dan kearifan bahwa :
Pertama, bahwa bumi tempat bersama dan sebagai tempat kehidupan  ini adalah suatu tempat yang sudah pada batas kemampuan untuk menampung kepentingan umat manusia sepenuhnya, terutama dalam jangka panjang kedepan.
Kedua, sumber daya alam yang selama ini dieksploitasi menjadi semakin terkikis dan  terkuras pada batas kemampuan alam itu sendiri, karena tidak disertai suatu upaya kebaharuan. Dan juga karena tidak mungkin terjadi kebaharuan, karena sifat alami.
Ketiga, perkembangan dan kemajuan Iptek tidak selalu hanya mempunyai dampak positif saja, tetapi juga mempunyai dampak negatif, termasuk pada pemuliaan alam. Sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan SDA pada umumnya. Antara kemajuan Iptek dan pemanfaatannya secara menyeluruh.
Bertolak dari tiga hal tersebut, maka patut dipertanyakan pula, apa yang seharusnya dilakukan untuk melindungi bumi ini dari kerakusan manusia dan perkembangan Iptek?.
Apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukan merupakan suatu renungan mendalam?. Renungan baik orang awam, dunia ilmu pengetahuan maupun dunia usaha dan korporasi. Seharusnya ketiga unsur tersebut saling bersinergi untuk mengatasi kesulitan bersama.
Tradisi yang muncul adalah bahwa mengatasi kesulitan dan ancaman alam hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat, yang akhirnya melahirkan kearifan-kearifan lokal. Kearifan lokal yang muncul dapat berkembang terus menjadi kearifan yang lebih luas, atau punah dengan sendirinya.
Manusia sebagai mahluk yang berakal budi, mengembangkan konsep tanggung jawab atas dasar suatu pertanyaan dasar pula, siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap lingkungan masing-masing?.
Berawal dari konsep tanggung jawab pribadi, bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas semua perbuatan, maka Pasal 1365 KUH Perdata, cukup memadai, bahwa siapapun bertanggung jawab berdasarkan hukum (Pasal 1365).
Pasal 1365 sebagai berikut :
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Ada satu konsep dasar tanggung jawab tersebut masih berada pada ranah privat. Perkembangan yang terjadi adalah bahwa tanggung jawab tertentu menjadi tanggung jawab kolektif (tanggung jawab bersama).
Pada suatu periode berikutnya konsep tersebut bergeser menjadi tanggung jawab korporasi, karena secara lugas terbukti korporasilah yang melakukan perbuatan hukum yang merugikan pihak ketiga.
Tanggung jawab sosial perusahaan secara mendasar merupakan suatu hal wajar apabila berawal dari pemahaman dasar bahwa perusahaan merupakan organ masyarakat. Sebagai organ, perusahaan pasti mempunyai dampak positif dan negatif.
Persoalan menjadi sulit, karena tidak semua pihak, semua perusahaan dan setiap pemangku kepentingan dengan sadar untuk selalu bertanggung jawab atas setiap akibat yang telah dilakukan.
Secara moral dan secara hukum (perdata dan publik) setiap subyek hukum bertanggung jawab pada semua hal atas perbuatan hukumnya. Tidak seorangpun mempunyai kebebasan tidak bertanggung jawab atas akibat hukum dari perbuatan hukumnya. Dalam hal ini perusahaan adalah suatu subyek (subyek Hukum/Badan Hukum).
Kegiatan yang dilakukan perusahaan di dalam masyarakat juga mengandung dua hal positif dan negatif tersebut. Pada saat dan sepanjang kegiatan perusahaan memang untuk memenuhi kebutuhan dan atau permintaan masyarakat, maka kegiatan tersebut dianggap positif. Akan tetapi kegiatan yang dilaksanakan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif apabila mempunyai akibat buruk bagi lingkungan dan faktor-faktor produksi yang lain. Timbulnya dampak negatif itulah yang perlu dan harus diatur agar tidak merugikan masyarakat dilingkungan dan para pemangku kepentingan.
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP), pada dasarnya berawal dari rasa bertanggung jawab secara personal pada suatu lingkungan dunia usaha, yang muncul dari pribadi-pribadi yang peka kepada sesama. Rasa tersebut timbul dan berkembang sebagai suatu yang harus dilakukan mengingat adanya kesenjangan keadaan sosial ekonomi yang tajam, antara unsur tenaga kerja dengan unsur pemilik dan pengurus dalam dunia usaha tersebut.
Berangkat dari keadaan tersebut, lahirnya konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang berada pada sasaran kewajiban-kewajiban moral. Dari kewajiban-kewajiban moral yang bergerak antara kesejahteraan pada lingkungan tertentu, menimbulkan pula suatu konsep bahwa yang harus diwujudkan adalah kesejahteraan bersama. Hal ini baru menjangkau pada kesejahteraan bersama pada lingkungan perusahaan  masing-masing. Kesejahteraan yang bersifat terbatas, makin meluas yang diikuti oleh gerakan-gerakan yang sama sehingga menjadi suatu konsep positif yang menjadi tanggung jawab institusional. Dalam hal ini perlu dilakukan penerapan TJSP yang meliputi suatu pelaksanaan untuk menerapkan:
- Upah minimal yang pantas untuk hidup layak.
- Keselamatan kerja yang cukup untuk melindungi tenaga kerja.
- Jaminan sosial yang pantas untuk masa depan tenaga kerja dan keluarganya dengan pantas.
Konsep di atas menjadi sangat manusiawi bagi tenaga kerja, masa depan perusahaan. Meskipn demikian lahirlah perkembangan baru atas kesadaran mengenai alam dan lingkungan.
Konsep sebagaimana diuraikan di atas selanjutnya menjadi sesuatu hal yang berdasarkan kearifan manusia, tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi menjadi kewajiban yang mempunyai tujuan menuju pencapaian kesejahteraan warganegaranya, secara sadar pasti mengatur hal-hal yang berkaitan dengan TJSP.
Sumber daya alam yang dieksploitasi perusahaan makin lama menjadi makin berkurang daya dukungnya, karena sifatnya yang terbatas dan tidak terbarukan. Hal ini mulai disadari sehingga konsep tanggung jawab terhadap lingkungan juga berkembang. Manusia secara pribadi dalam institusi dan Negara  serentak sadar bahwa lingkungan dan sumber daya alam perlu dilindungi untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan dimasa yang akan datang.

C.        Pengaturan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Secara formal tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan baru diatur pada tahun 2007, yaitu dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut :
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
Di dalam penjelasan resmi dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas disebutkan bahwa ayat (1) Pasal 74 mengandung maksud:
-  Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
-  Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
-  Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Sedangkan mengenai ayat (2) dan ayat (4) dianggap cukup jelas.
Ayat (3) diberi penjelasan sebagai berikut :
-  Yang dimaksud dengan “Dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Dari ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya tersebut di atas dapat dimaknai bahwa :
- Ketentuan tersebut “hanya” berlaku bagi bidang usaha yang bergerak, dan mempunyai hubungan dengan Sumber Daya Alam. Bagaimana dengan bidang usaha lain yang secara tidak langsung juga mempunyai dampak negative kepada lingkungan?.
-  Bagaimana strata  usaha yang berada dalam UMKM yang jumlahnya banyak dengan dampak yang melebihi satu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas?.
Untuk itu perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
-  Melakukan sosialisasi membuat pedoman yang lebih operasional, sehingga tidak menimbulkan kesan yang secara hukum menjadi diskriminatif.
-  Melakukan sosialisasi yang mendalam kepada badan usaha sebagai pelaku usaha yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas ikut serta secara sukarela menjaga lingkungan usaha, lingkungan pelanggan dengan baik dan benar, mengingat jumlah mereka jauh lebih besar dengan jangkauan perusahaan yang jauh lebih luas.

PENGATURAN NASIONAL MENGENAI TENAGA KERJA ASING

1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menggunakan istilah tenaga kerja asing terhadap warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), menggunakan istilah tenaga warga negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara asing yang memiliki visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud bekerja (melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1). Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena seorang tenaga kerja asing bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar wilayah Republik Idnonesia, akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja asing lahir dan bertempat tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang tuanya (berdasarkan asas ius soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang adalah mewajibkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas waktu tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja Indonesia kelak mampu mengadop skill tenaga kerja asing yang bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja asing. Dengan demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara slektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (UUPTKA). Dalam perjalanannya, pengaturan mengenai penggunaan tenaga kerja asing tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri, namun sudah merupakan bagian dari kompilasi dalam UU Ketenagakerjaan yang baru. Dalam UUK, pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dimuat pada Bab VIII, Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari kewajiban pemberi kerja yang menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis; memiliki rencana penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan jangka waktu penggunaan TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA; hingga kewajiban memulangkan TKA ke negara asal setelah berakhirnya hubungan kerja.
UUK menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari Menteri. Pengertian Tenaga Kerja Asing juga dipersempit yaitu warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan pengawasan. Dalam rangka itu, Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum mulai dari perizinan, jaminan perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan. Sejumlah peraturan yang diperintahkan oleh UUK antara lain :
1)   Keputusan Menteri tentang Jabatan Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42 ayat (5));
2)   Keputusan Menteri tentang Tata Cata Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4));
3)   Keputusan Menteri tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat (2));
4)   Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal 46 ayat (2));
5)   Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan yang Dibebaskan dari Pembayaran Kompensasi (Pasal 47 ayat (3)).
6)   Peraturan Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4).
7)   Keputusan Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping (Pasal 49).
Sejak UUK diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003, telah dilahirkan beberapa peraturan pelaksana undang-undang tersebut[1], antara lain :
1)  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
2)  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK bagi Tenaga Kerja Asing.
3) Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja nasional terutama dalam mengisi kekosongan keahlian dan kompetensi di bidang tertentu yang tidak dapat ter-cover oleh tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia sepanjang dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Mempekerjakan tenaga kerja asing dapat dilakukan oleh pihak manapun sesuai dengan ketentuan kecuali pemberi kerja orang perseorangan. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk kecuali terhadap perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing ditetapkan dengan keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Nomor : KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.
Terhadap setiap pengajuan/rencana penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia harus dibatasi baik dalam jumlah maupun bidang-bidang yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Hal itu bertujuan agar kehadiran tenaga kerja asing di Indoesia bukanlah dianggap sebagai ancaman yang cukup serius bagi tenaga kerja Indonesia, justru kehadiran mereka sebagai pemicu bagi tenaga kerja Indonesia untuk lebih professional dan selalu menambah kemampuan dirinya agar dapat bersaing baik antara sesama tenaga kerja Indonesia maupun dengan tenaga kerja asing. Oleh karenanya UUK, membatasi jabatan-jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Terhadap tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu yang selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223 Tahun 2003 tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Jabatan-jabatan yang dilarang (closed list) ini harus diperhatikan oleh si pemberi kerja sebelum mengajukan penggunaan tenaga kerja asing. Selain harus mentaati ketentuan tentang jabatan, juga harus memperhatikan standar kompetansi yang berlaku. Ketentuan tentang jabatan dan standar kompetensi didelegasikan ke dalam bentuk Keputusan Menteri. Namun dalam prakteknya, kewenangan delegatif maupun atributif ini belum menggunakan aturan yang sesuai dengan UUK.
Kahadiran tenaga kerja asing dapat dikatakan sebagai salah satu pembawa devisa bagi negara dimana adanya pembayaran kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan. Pembayaran kompensasi ini dikecualikan pada pemberi kerja tenaga kerja asing merupakan instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan[2]. Besanya dana kompensasi untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebesar US$15, sedangkan kompensasi untuk tenaga kerja asing di Indonesia sebesar US$100[3]. Dalam rangka pelaksanaan Transfer of Knowledge dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia, kepada pemberi kerja diwajibkan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja pendamping (Pasal 49 UUK). Mengenai hal ini diatur dengan Keputusan Presiden yang sampai saat ini belum ditetapkan.
3. Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Peraturan Menteri ini dikelurakan dalam rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK. Dengan dikeluarkannya  Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing ini maka beberapa peraturan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK ini yakni : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 44).
1)Tata Cara Permohonan Pengesahan RPTKA
Selain harus memiliki izin mempekerjakan tenaga kerja asing, sebelumnya pemberi kerja harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 3 menyebutkan bahwa “pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA” yang digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis yang dilengkapi alasan penggunaan TKA dengan melampirkan :
  1. formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;
  2. surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;
  3. akte pendirian sebagai badan hukum yang sudah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
  4. keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;
  5. bagan struktur organisasi perusahaan;
  6. surat penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan;
  7. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan; dan
  8. rekomendasi jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi tertentu apabila diperlukan.
Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada huruf a memuat :
  1. Identitas pemberi kerja TKA;
  2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang bersangkutan;
  3. Besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;
  4. Jumlah TKA;
  5. Lokasi kerja TKA;
  6. Jangka waktu penggunaan TKA;
  7. Penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan[4]; dan
  8. Rencana program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.
2) Pengesahan RPTKA
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai prosedur yang ditetapkan, Dirjen atau Direktur harus menerbitkan keputusan pengesahan RPTKA. Penerbitan keputusan pengesahan RPTKA dilakukan oleh Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh) orang atau lebih; serta Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh) orang. Keputusan pengesahan RPTKA ini memuat :
  1. Alasan penggunaan TKA;
  2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
  3. Besarnya upah TKA;
  4. Jumlah TKA;
  5. Lokasi kerja TKA;
  6. Jangka waktu penggunaan TKA;
  7. Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai pendamping TKA[5]; dan
  8. Jumlah TKI yang dipekerjakan.
3) Perubahan RPTKA
Pemberi kerja TKA dapat mengajukan permohonan perubahan RPTKA sebelum berakhirnya jangka waktu RPTKA. Perubahan RPTKA tersebut meliputi :
a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA;
b. perubahan jabatan; dan/atau
c. perubahan lokasi kerja.
4) Persyaratan TKA
Bagi Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan yakni: memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan didudukinya; bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja warga negara Indonesia khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pendamping; dan dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
5) Perijinan
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diberikan oleh Direktur Pengadaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi kepada pemberi kerja tenaga kerja asing[6], dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi visa (TA-01) dengan melampirkan (Pasal 23) :
  1. Copy Surat Keputusan Pengesahan RPTKA;
  2. Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
  3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
  4. Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
  5. Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping; dan
  6. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja TKA mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan (Pasal 24):
  1. copy draft perjanjian kerja;
  2. bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  3. copy polis asuransi;
  4. copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
  5. foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar[7].
6) Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun, bila masa berlaku IMTA belum berakhir. Oleh karena itu permohonan perpanjangan IMTA selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
  1. Copy IMTA yang masih berlaku;
  2. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  3. Copy polis asuransi;
  4. Pelatihan kepada TKI pendamping;
  5. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
  6. Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Perpanjangan IMTA diterbitkan oleh :
  1. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah propinsi;
  2. Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
  3. Bupati/Walikota atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
7) IMTA Untuk Pekerjaan Darurat
Pekerjaan yang bersifat darurat atau pekerjaan-pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, yang mana jenis pekerjaan mendesak itu ditetapkan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor usaha yang bersangkutan. Permohonan pengajuan IMTA yang bersifat mendesak ini disampaikan kepada Direktur dengan melampirkan :
  1. Rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang;
  2. Copy polis asuransi;
  3. Fotocopy paspor TKA yang bersangkutan;
  4. Pasfoto TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
  5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank yang ditunjuk oleh Menteri; dan
  6. Bukti ijin keimigrasian yang masih berlaku.
8) IMTA Untuk Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan ekonomi khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus. Tata cara memperoleh IMTA di kawasan ekonomi khusus mengikuti ketentuan dalam poin 5 (lima).
9) IMTA Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
  1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
  2. Copy izin tinggal tetap yang masih berlaku;
  3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
  4. Copy ijasah atau pengalaman kerja;
  5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  6. Copy polis asuransi; dan
  7. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
10) IMTA Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur. Jangka waktu penggunaan TKA sebagai  pemandu nyanyi/karaoke diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang. Untuk menjapatkan ijin pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
  1. Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke;
  2. RPTKA yang telas disahkan oleh direktur;
  3. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  4. Copy polis asuransi; dan
  5. Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.
11) Alih Status
Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan internasional yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi alih status kepada Direktur. Rekomendasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP yang digunakan sebagai dasar perubahan IMTA atau penerbitan IMTA baru.
12) Perubahan Nama Pemberi Kerja
Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, pemberi kerja harus mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah RPTKA disetujui, Direktur Penyediaan dan penggunaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan rekomendasi kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP sebagai dasar perubahan IMTA, dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
  1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
  2. Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
  3. Copy IMTA yang masih berlaku;
  4. Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
13) Perubahan lokasi Kerja
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
14) Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen. Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota melaporkan IMTA yang diterbitkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Dirjen.
15) Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
16) Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang mencabut IMTA

Sabtu, 17 Maret 2012

POKOK-POKOK PEMIKIRAN HANS KELSEN

jika dilihat karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran utama meliputi tiga masalah utama yakni: teori tentang negara, hukum, dan hukum internasional. ketiga masalah tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum yang formal. logika formal telah lama dikembangkan dan merupakan karakteristik utama filsafat neo-kantian yang berkembang menjadi strukturualisme. teori umum tentang hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen meliputi dua aspek penting yakni: aspek statis yang dilihat perbuatan diatur oleh hukum dan aspek dinamis yang dimana hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedman mengungkapkan pokok-pokok pemikiran Hans Kelsen sebagai berikut:
1. tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menuju kesatuan
2. teori hukum merupakan hukum yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya
3. hukum merupakan ilmu normatif bukan ilmu alam
4.teori hukum adalah formal, suatu cara dengan menata, mengubah isi secara khusus.
pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the pure theory of law mendapatkan tempat yang berbeda karena antara mazhab hukum alam dan positivisme empiris. empirisme hukum melihat dari hukum yang dapat direduksi sebagai fakta sosial. menurut kelsen, interpretasi hukum dengan norma yang non empiris. mazhab hukum alam, kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral. teori tertentu dikembangkan oleh kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan hukum positif yang berbeda-beda membentuk konsep dasar yang dapat menggambarkan komunitas hukum. masalah utama dalam teori umum adalah norma hukum, elemen-elemennya, hubungan antar tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum dalam tata hukum yang positif yang plural. the pure teory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara keadilan trensendental dan hukum empiris dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. hukum bukan merupakan manifestasi dari orotitas super human, tetapi merupakan teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia

Senin, 12 Maret 2012

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 56/PUU-VI/2008 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 56/PUU-VI/2008
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008
TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN
DAN WAKIL PRESIDEN
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA
PENGUCAPAN PUTUSAN
(IV)
J A K A R T A
SELASA, 17 FEBRUARI 2009
1
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 56/PUU-VI/2008
PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
PEMOHON
1. M. Fadjroel Rachman
2. Mariana
3. Bob Febrian
ACARA
Pengucapan Putusan (IV)
Kamis, 17 Februari 2009, Pukul 10.00 – 12.05 WIB
Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Prof. Dr. Mahfud MD, S.H (Ketua)
2) Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S (Anggota)
3) Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M. Hum (Anggota)
4) Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum (Anggota)
5) Maruarar Siahaan, S.H. (Anggota)
6) H.M. Akil Mochtar, S.H., M.H. (Anggota)
7) Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (Anggota)
8) Prof. Dr. Acmad Sodiki, S.H. (Anggota)
Cholidin Nasir, S.H. Panitera Pengganti
2
Pihak yang Hadir :
Pemohon Perkara:
- M. Fadjroel Rachman
- Bob Febrian
Kuasa Hukum Pemohon:
- Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M
Pemerintah :
- Denny Indrayana (Staf Khusus Presiden)
- Mualimin Abdi (Kabag Penyajian pada Sidang MK, Dephukham)
- Dewi (Departemen Dalam Negeri)
3
1. KETUA : Prof. Dr. MAHFUD MD, S.H.
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk acara Pengucapan
Putusan Perkara Nomor 56/PUU-VI/2008 dengan ini dinyatakan dibuka
dan terbuka untuk umum.
Kepada Para Pemohon, Prinsipal, dan Kuasa Hukumnya, silakan
memperkenalkan diri dulu di dalam Majelis ini.
2. KUASA PEMOHON : TAUFIK BASRI, S.H., M.Hum., LL.M.
Baik, selamat pagi.Terima kasih, Majelis Hakim yang mulia. Nama
saya Taufik Basari, Kuasa Hukum dari Perkara 56.
3. PEMOHON : M. FADJROEL RACHMAN
Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi yang mulia, nama saya
Fadjroel Rachman, Pemohon 1 dalam Perkara Calon Presiden
Independen ini.
4. KUASA PEMOHON : BOB FEBRIAN
Assalamualaikum wr. wb. Majelis hakim yang terhormat. Nama
saya Bob Febrian, Pemohon dalam kasus ini.
5. KETUA : Prof. Dr. MAHFUD MD, S.H.
Pihak Pemerintah dan DPR?
6. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi,
salam sejahtera untuk kita semua. Dari Pemerintah yang hadir, saya
sendiri, Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Sebelah kiri saya, Pak Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden Bidang
Hukum. Kemudian di sebelah kanan ada Ibu Dewi dari Departemen
Dalam Negeri. Terima kasih Yang Mulia.
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
KETUK PALU 3 X
4
7. KETUA : Prof. Dr. MAHFUD MD, S.H.
Baik, pengucapan Putusan akan dimulai dan keputusan ini tidak
akan dibaca seluruhnya karena sejauh menyangkut duduk perkara yang
tertuang di dalam surat permohonan, jawaban, dan keterangan Saksisaksi,
selengkapnya, itu sebenarnya sudah dibicarakan dan diketahui
bersama-sama di dalam sidang sebelumnya. Oleh sebab itu, nanti
sesudah memperkenalkan atau membacakan tentang subyektumlitisnya
nanti langsung membaca pertimbangan hukum.
PUTUSAN
Nomor 56/PUU-VI/2008
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi
pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam
perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2] 1. M. Fadjroel Rachman, warga negara Indonesia, tempat dan
tanggal lahir Banjarmasin, 17 Januari 1964, agama Islam,
pekerjaan Swasta, alamat Kopo Permai 1 Blok T Nomor 3,
RT/RW. 007/001, Desa Sukamenek, Kecamatan Margahayu,
Kabupaten Bandung, Jawa Barat,
sebagai...........................................................Pemohon I;
2. Mariana, warga negara Indonesia, tempat dan tanggal lahir
Jakarta 14 Maret 1976, agama Islam, pekerjaan Karyawati,
alamat Jalan Janur Indah VI LA 17/9 RT/RW. 003/018,
Kelurahan Kelapa Gading Timur, Kecamatan Kelapa Gading,
Jakarta Utara, sebagai ...................................Pemohon II;
3. Bob Febrian, warga negara Indonesia, tempat dan tanggal
lahir Duri, 16 Februari 1982, agama Islam, pekerjaan
Wiraswasta, alamat Jalan Sudirman Nomor 29, RT/RW.
002/004, Kelurahan Talang Mandi, Kecamatan Mandau,
Kabupaten Bengkalis, Riau,
sebagai.........................................................Pemohon III;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, bertanggal 1 Desember 2008
memberikan kuasa kepada 1) Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M., 2)
Virza Roy Hizzal, S.H., M.H., dan 3) Ricky Gunawan, S.H. Kesemuanya
adalah Advokat dan Konsultan Hukum yang memilih domisili hukum di
Kantor Taufik Basari and Associates, Jalan Tebet Timur Dalam III D
5
Nomor 2, Tebet, Jakarta Selatan 12820. Baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai--------------------------Para Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan dari para Pemohon;
Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Mendengar dan membaca Keterangan Tertulis Pemerintah;
Mendengar dan membaca Keterangan Tertulis Dewan Perwakilan
Rakyat;
Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon;
Mendengar dan membaca Keterangan Tertulis Ahli dari para
Pemohon;
Mendengar dan membaca Keterangan Tertulis Ahli dari
Pemerintah
Membaca Kesimpulan Tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;
8. HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. ACMAD SODIKI, S.H.
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon
adalah menguji konstitusionalitas Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal
9, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924, selanjutnya
disebut UU 42/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang, sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) harus
mempertimbangkan terlebih dahulu:
1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo;
2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk bertindak
selaku Pemohon dalam permohonan a quo.
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) juncto
Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 4/2004),
6
Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 terhadap UUD 1945, yang menjadi
salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta
Penjelasannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK), yang dapat
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945
dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-
Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan
terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai pemohon sebagaimana dimaksud Pasal
51 ayat (1) UU MK;
b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal
20 September 2007 berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat
(1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945;
7
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang
yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)
dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang
didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3. 7] Menimbang bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa:
Pemohon I (M. Fadjroel Rachman) yang merupakan warga
negara yang hendak menggunakan haknya untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan dengan menjadi Calon Presiden Republik
Indonesia, yang memperoleh jaminan atas persamaan kedudukan
di dalam hukum [Pasal 27 ayat (1) UUD 1945], dan jaminan untuk
memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
[Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, jaminan memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3) UUD 1945],
dan hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi [Pasal 28I
ayat (2) UUD 1945], yang merupakan salah satu bentuk
perwujudan kedaulatan rakyat [Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6A ayat
(1) UUD 1945];
Pemohon II (Mariana) dan Pemohon III (Bob Febrian)
adalah perorangan warga negara Indonesia yang hendak
menggunakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
melalui pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dengan
menggunakan hak pilihnya, dan hendak menggunakan hak pilihnya
untuk memilih Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang
dipercaya oleh rakyat dan bukan sekadar dipercaya oleh partai
politik, dan Pemohon yang bukan anggota partai politik dan tidak
mendukung partai politik apapun, dan tidak pernah memberi
mandat kepada partai politik untuk menyediakan Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih;
Bahwa akan tetapi hak-hak konstitusional para Pemohon
yang dijamin dalam UUD 1945 tersebut, yaitu hak untuk memilih
Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden yang dipercayainya dan
hak untuk turut serta dalam Pemerintahan dengan menjadi
Pasangan Calon Presiden dalam pemilihan umum, telah terlanggar
dengan adanya ketentuan dalam Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9,
dan Pasal 13 ayat (2) UU 42/2008, yang menutup kemungkinan
adanya calon perseorangan atau independen di luar Pasangan
Calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik;
8
Bahwa kriteria yang diutarakan dalam pertimbangan dalam
paragraf [3.6] di atas, baik mengenai kualifikasi sebagai
perorangan maupun syarat tentang kerugian hak konstitusional
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, menurut
Mahkamah telah dipenuhi, sehingga meskipun masih akan
dipertimbangkan bersama-sama dengan Pokok Permohonan,
secara prima facie para Pemohon telah memenuhi syarat
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
a quo;
[3.8] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo, dan para Pemohon
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak
selaku Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana telah
dipertimbangkan di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan
lebih lanjut tentang Pokok Permohonan;
Pokok Permohonan
[3.9] Menimbang yang menjadi pokok permasalahan yang diajukan oleh
Pemohon adalah pengujian materiil Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal
9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008, yang didalilkan
bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan yang pada
pokoknya sebagai berikut:
1. UUD 1945 tidak melarang Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden Independen, dan ketentuan Pasal 6A ayat (2) bukan
penghalang bagi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
perseorangan atau independen. Pasal 6A ayat (2) tersebut tidak
memberikan hak eksklusif kepada partai politik sebagai satusatunya
saluran aspirasi warga negara di dalam demokrasi yang
kemudian menjadi hak eksklusif partai untuk mengusulkan
Pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 6A ayat (2)
merupakan preferensi bagi proses pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden, sehingga karena namanya preferensi, maka
pilihan atau kemungkinan lain di luar preferensi tersebut masih
terbuka;
2. Para Pemohon memiliki hak-hak yang dijamin oleh UUD 1945;
sebagai warga negara Indonesia para Pemohon memiliki hak
untuk berpartisipasi dalam pemerintahan termasuk dalam
Pemilu. Pelaksanaan hak ini dijamin oleh UUD 1945 dalam
bentuk pengakuan, jaminan atas kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, serta jaminan untuk bebas dari segala bentuk
diskriminasi. (vide Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2). Segala pelaksanaan hak untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk dalam hal Pemilu
ini dilakukan dalam kerangka perwujudan kedaulatan rakyat
[Pasal 1 ayat (2) UUD 1945];
9
3. Bahwa tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang melarang
adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
independen atau perseorangan, dan Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 bukan penghalang keberadaan Calon Presiden dan Wakil
Presiden independen atau perseorangan, dan setiap warga
negara berhak memperoleh kedudukan dan kesempatan yang
sama dalam berpartisipasi dalam pemerintahan tanpa
diskriminasi;
4. Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU
42/2008 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945, dengan argumentasi sebagai berikut:
a. bahwa seseorang yang memiliki dukungan yang cukup
secara langsung dari masyarakat, namun tidak disukai atau
tidak mau tunduk pada kemauan dan kepentingan pengurus
partai politik, maka peluang orang tersebut menjadi tertutup.
Bagi sebuah demokrasi dengan sistem presidensil, Calon
Presiden yang dihasilkan dari sistem seperti ini akhirnya akan
tunduk pada kemauan partai politik yang mendukungnya,
bukannya tunduk pada rakyat yang memilihnya, sehingga
dengan model seperti ini esensi kedaulatan rakyat dalam
pemilihan Presiden menjadi hilang digantikan oleh
kedaulatan partai politik, Pemohon II dan Pemohon III
dipaksa harus memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden
yang telah melalui seleksi internal partai politik atau melalui
kesepakatan petinggi partai-partai politik, dimana ukuran
yang dipergunakan untuk menyaring dan menseleksi warga
negara terbaik yang akan menjadi pemimpin adalah
kepentingan dan kemauan partai politik;
b. bahwa muatan dalam ketentuan UU 42/2008 a quo,
bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang
mengandung prinsip demokrasi, dimana rakyat ditegaskan
sebagai pemilik kedaulatan dan bukan milik partai politik
ataupun golongan atau kelompok tertentu. Esensi dari
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah perwujudan
kedaulatan rakyat, dan pemilihan secara langsung yang
ditetapkan pasca amandemen UUD 1945 merupakan usaha
untuk menegaskan bahwa kedaulatan di tangan rakyat;
c. bahwa tata cara pengusulan dan pendaftaran pasangan
calon yang dilakukan partai politik menghalangi dan menutup
hak konstitusional warga negara untuk memilih dan menjadi
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden secara
independen dan langsung, tanpa melalui partai politik;
d. Pasangan Calon tersebut juga hanya dapat diusulkan oleh
Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu
yang memenuhi persyaratan perolehan kursi 20% dari
10
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % dari suara sah
nasional dalam Pemilu anggota DPR, sehingga pilihan rakyat
atas Calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh
dominasi partai-partai tertentu yang memperoleh suara kursi
atau suara yang sangat besar, dan rakyat yang secara
mandiri mendukung calon tertentu dengan dukungan yang
sangat besar menjadi tidak berarti;
e. bahwa adanya pengakuan konstitusional terhadap
dimungkinkannya calon perseorangan dalam pelaksanaan
demokrasi di Indonesia dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 05/PUU-V/2007 dengan memperkenankan
calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah yang
didukung adanya bukti jajak pendapat yang menunjukkan
bahwa rakyat sangat menyetujui adanya Calon
Presiden/Wakil Presiden perseorangan atau independen,
menyebabkan penafsiran terhadap UUD 1945 harus sejalan
dengan pandangan masyarakat yang menghendaki
dibukanya kesempatan bagi Calon Presiden dan Wakil
Presiden perseorangan atau independen, sehingga oleh
karenanya meminta pada Mahkamah Konstitusi untuk
menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13
UU 42/2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
[3.10] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil mereka, Para
Pemohon di samping mengajukan bukti-bukti tertulis (bukti P-1
sampai dengan bukti P-8), juga telah mengajukan ahli yang
keterangannya secara lengkap telah termuat dalam bagian Duduk
Perkara Putusan ini, tetapi pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
1. Bima Arya, Ph.D
• Perdebatan tentang boleh-tidaknya Calon Presiden (Capres)
independen, harus diletakkan dalam konteks peneguhan
sistem presidensiil yang dianut Indonesia. Dalam sistem
presidensiil, kepala negara mempunyai kedaulatan yang
cukup atau sangat tinggi bahkan dijamin dapat melakukan
prinsip can do no wrong dalam keadaan bahaya yang
mengancam kedaulatan negara. Logika kekuatan Presiden
seperti itu haruslah diimbangi dengan mekanisme Presiden
dipilih langsung oleh rakyat. Peran Presiden sebagai
lembaga tertinggi dalam sistem presidensial
mengindentifikasikan bahwa kontrak sosial antara Presiden
harus langsung dengan rakyat. Dominasi atau hegemoni
partai politik dalam menentukan Capres mengingkari prinsip
dasar sistem presidensiil karena membatasi pilihan,
membatasi peluang, dan mengurangi pemahaman tentang
kontrak politik antara Presiden dengan rakyatnya;
11
• Asumsi bahwa stabilitas pemerintahan perlu ditunjang
dengan hadirnya mayoritas partai politik dari Pemerintah di
parlemen, justru berpotensi mengganggu sistem checks
and balances, karena meningkatkan kepentingan permanen
di antara Presiden dan koalisi yang berorientasi
mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan, serta
saling melindungi kepentingan antara mayoritas legislatif
dan eksekutif;
• Ahli sepakat dengan pendapat Denny Indrayana, bahwa
kekurangan proses amandemen UUD 1945 adalah bahwa
partai politik memegang monopoli dalam mengusulkan
kandidat-kandidat Presiden. Hal itulah yang sebetulnya
menutup kemungkinan Calon Presiden independen dan
melemahkan ide pemilihan Presiden langsung. Penafsiran
syarat pengajuan Capres melalui partai adalah diskriminasi,
karena bukan merupakan syarat umum melainkan syarat
khusus yang cenderung ke luar dari substansi
permasalahan dan ke luar dari komitmen untuk
meneguhkan sistem presidensiil;
• Kesimpulan ahli, pertama, tidak ada hubungan antara
dukungan partai terhadap capres dengan stabilitas
pemerintahan. Kedua, stabilitas Pemerintah dan pola relasi
antara eksekutif-legislatif semestinya lebih ditentukan
melalui konstruksi hak dan wewenang kedua lembaga
tersebut. Ketiga, Capres independen adalah konsekuensi
logis dari sistem presidensiil yang tidak bisa dihindarkan.
Keempat, pembatasan pencalonan melalui partai adalah
syarat khusus bukan syarat umum, karena itu merupakan
bentuk diskriminasi.
9. HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. MARIA FARIDA INDRATI, S.H.,
M.H.
2. Dr. Irmanputra Sidin, SH., MH.
• Konstitusi tidak boleh dijebak oleh zaman, konstitusi tidak
bisa dikungkung oleh sejarah zaman. Berlandaskan pada
kontekstualisasi, maka penafsiran original intent terhadap
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 terpaksa harus dimuseumkan
dalam sebuah museum akademik yang bernama mata
kuliah Sejarah Hukum;
• Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, the living constitution, tidak
bermaksud menyatakan bahwa hanya Parpol peserta
Pemilu yang dapat mengajukan Pasangan Calon Presiden.
Norma ini adalah norma perintah, tetapi, perintah tidak
selamanya imperatif, perintah dapat juga bersifat
afirmatif. Afirmatif dalam Pasal 6A ayat (2) ialah bahwa
12
Pasangan Calon Presiden diusulkan oleh Partai Politik
karena konstitusi mengakui bahwa Partai Politik adalah
pranata mulia dan pilar utama dalam membangun
kontitusional demokrasi, namun tidak berarti Partai Politik
adalah satu-satunya pilar dalam membangun
konstitusional demokrasi;
• Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa
tidak semua partai politik yang mengajukan Pasangan
Calon Presiden, tetapi hanya Partai Politik peserta Pemilu
yang dapat mengajukan Pasangan Calon Presiden. Pasal
a quo tidak dapat di-a contrario-kan untuk mengatakan
bahwa yang tidak diusulkan oleh partai politik tidak dapat
menjadi Calon Pasangan Presiden. Dalam salah satu
pasal perubahan ketiga UUD 1945 juga disebutkan bahwa
Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Ini juga norma
afirmasi yang sifatnya negatif, yang kemudian tidak dapat
di-a contrario-kan bahwa hanya Presiden yang tidak
dapat membubarkan DPR;
• Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bukanlah halangan untuk
menyatakan bahwa calon perseorangan itu dapat
menjadi Pasangan Calon Presiden. Ada juga pendapat
yang mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah itu
terbuka bagi calon independen karena Pasal 18 UUD
1945 menyebutkan pemilihan dilakukan secara
demokratis. Makna pemilihan kata demokratis dalam
Pasal 18 UUD 1945 tentang Pemilu Kepala Daerah itu
dapat terbuka luas, yang dapat diartikan, misalnya,
pasangan kepala daerah dipilih oleh DPRD;
• Ahli mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi
dalam putusan calon perseorangan yang ketika itu
menyatakan alasan adanya ketidakpastian hukum maka
ketika di bawahnya membuka peluang calon perorangan,
bagaimana dapat mempertanggungjawabkan bila tidak
perlu ada Calon Presiden independen, padahal hal
tersebut adalah keadaan yang sama, hanya yang satu
pada level gubernur, bupati/walikota, dan yang satunya
adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan;
• Pasal 28J UUD 1945 sering digunakan sebagai
argumentasi Pemerintah untuk membatasi hak
seseorang. Pasal 28J mempunyai makna mistis yang
sering dilupakan. Pasal 28J adalah pasal pamungkas
jikalau pelaksanaan sebuah hak konstitusional itu tidak
menghormati pengakuan hak dan kebebasan orang lain,
dengan alasan agama, moralitas, ketertiban dan
keamanan;
13
• Menurut ahli, tidak serta merta masuknya calon
perorangan menimbulkan chaos sosial. Begitu pula tidak
serta merta ketika hanya partai politik yang mengusulkan
Pasangan Calon Presiden, maka Pemilu itu aman;
3. Hari Wibowo
• Satu aspek paling penting dari demokrasi adalah semua
aturan hukum, Undang-Undang, peraturan di bawahnya,
bahkan Konstitusi sekalipun tidak boleh bertentangan
dengan prinsip universal dan watak dasar hak asasi
manusia yang dikenal sebagai human rights. Ada empat
karakterisktik dasar atau prinsip di dalam human rights.
Pertama, prinsip yang universal yaitu bahwa seluruh hak,
tanpa pengecualian, berlaku di manapun, dalam wilayah
yurisdiksi apapun, tanpa diskriminasi apapun juga.
Kedua, hak asasi bersifat tak terenggutkan yang melekat
pada diri manusia secara alamiah. Ketiga, hak itu tidak
terpisahkan. Keempat, antara satu hak dan hak yang lain
akan saling tergantung;
• Melihat Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13
ayat (1) UU 42/2008, Ahli menyimpulkan bahwa
pembatasan dan pengekangan yang dilakukan ada di
dalam pasal-pasal ini, terutama yang menyangkut soal
seseorang dapat dipilih menjadi Calon Presiden dan Calon
Wakil Presiden hanya melalui partai politik. Artinya, di
luar partai politik dia tidak boleh dan tidak dapat menjadi
Calon Presiden dan Wakil Presiden. Persoalannya, apakah
ada kepentingan yang diperlukan untuk membatasi
seseorang menjadi Presiden hanya boleh melalui partai
politik? Ini yang sebenarnya harus diuji. Ketika Fadjroel
Rachman mencalonkan diri sebagai Presiden yang bukan
dari partai politik, apakah itu mengganggu atau bahkan
meniadakan hak-hak yang lain? Selain kebebasan dipilih,
adakah hak asasi manusia lainnya yang diganggu dengan
pencalonan di luar jalur partai politik itu? Apakah hak
berorganisasi terganggu? Hal-hal inilah yang harus
diperiksa baik-baik;
• Dalam konteks kepentingan nasional, yurisdiksi negara,
kepentingan nasional apa yang dipertahankan sehingga
perlu dibuat kebijakan bahwa Calon Presiden hanya
diajukan melalui partai politik? Apakah ada ancaman
terorisme sehingga hanya Calon Presiden melalui partai
politik yang diperkenankan? Apakah ada ancaman virus
SARS yang dapat mengganggu kesehatan? Apakah ada
ancaman moral?
14
• Kandungan dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, menurut
ahli, tidak boleh bertentangan dengan atau tidak boleh
mengekang dan membatasi hak-hak seorang warga
negara untuk dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Mengapa demikian? Sama seperti alasan di atas, harus
diperiksa baik-baik apakah ada hak atau kebebasan lain
yang dilanggar? Ataukah ada kepentingan nasional,
ketertiban umum, moral umum yang sangat diperlukan
sehingga pengekangan dan pembatasan itu sah dan
legitimate.
[3.11] Menimbang bahwa Pemohon juga mengajukan keterangan para
ahli yang telah didengar di bawah sumpah dalam perkara Nomor
23/PUU-VI/2008 tentang pengujian Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat
(1), dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang
menyangkut tentang Calon Presiden dan Wakil Presiden
perseorangan, Undang-Undang mana telah dinyatakan tidak
berlaku lagi dengan diundangkannya UU 42/2008, sebagai bukti
untuk turut dipertimbangkan Mahkamah, keterangan ahli mana
masing-masing telah dimuat secara lengkap dalam bagian Duduk
Perkara pada pokoknya sebagai berikut:
1. Saiful Mujani, Ph.D (Ahli Statistik dan Survey)
• Dalam dua kali survei yang dilakukan pada tahun 2007 dan
2008, pertanyaan yang diajukan kurang lebih sama yakni
mengenai dukungan atau penolakan terhadap pencalonan
Presiden secara independen atau secara perorangan dalam
hal ini terkait dalam tiga indikator, yaitu pertama, dukungan
atau penolakan atas ide bahwa setiap warga pada dasarnya
dapat mencalonkan diri sebagai Presiden, setuju atau tidak
setuju dengan ide tersebut? Kedua, dukungan atau
penolakan atas pandangan bahwa pencalonan Presiden
hanya oleh partai politik apakah menghalangi saluran bagi
hak politik warga, setuju atau tidak dengan ide tersebut?
Ketiga, dukungan atau penolakan atas pendapat agar
Presiden dapat dicalonkan bukan hanya oleh partai politik
tetapi juga oleh perorangan, setuju atau tidak dengan
pertanyaan tersebut?
• Di dalam survei itu, sampel yang diambil sekitar 1.300 dan
di masing-masing survei itu ada error-nya sekitar 3%.
Survei yang dilakukan terakhir pada bulan Juni 2008
ditemukan, pertama, bahwa di atas 75% mengatakan
setuju dengan pendapat bahwa setiap warga punya hak
untuk mencalonkan diri jadi Presiden, yang tidak setuju
12%. Ini konsisten dengan survei sebelumnya. Kedua, di
15
atas 50% mengatakan setuju bahwa pencalonan oleh partai
politik itu mengurangi atau membatasi hak politik warga
negara. Ketiga, di atas 65% setuju pencalonan Presiden
tidak harus hanya oleh partai politik tetapi dibolehkan juga
oleh individu atau kelompok masyarakat;
• Dari temuan di atas artinya masyarakat Indonesia pada
umumnya menginginkan calon independen untuk Presiden.
Hal tersebut disebabkan tingkat kepercayaan dalam hal
pencalonan Presiden yang selama ini merupakan wewenang
partai, paling rendah dibandingkan dengan lembaga lain,
misalnya Ormas, LSM, atau media massa. Hasil survei juga
menunjukkan bahwa pada umumnya warga mendukung
Calon Presiden perseorangan baik yang puas ataupun tidak
puas dengan pelaksanaan demokrasi dan yang menilai baik
ataupun buruk kinerja Presiden yang berlatar belakang
partai apapun, semuanya mendukung calon independen.
Demikian juga dari latar belakang pendidikan responden,
semuanya mendukung calon independen untuk Presiden
walaupun apabila dilihat pendidikan responden maka
semakin tinggi pendidikannya semakin menginginkan calon
independen;
• Oleh karena itu, konstitusi yang berkaitan dengan
pencalonan Presiden harus ditafsirkan sesuai dengan
aspirasi rakyat agar konstitusi menjadi hidup, dekat dengan
hati rakyat sehingga menjadi semakin demokratis.
2. Rocky Gerung, S.S. (Ahli Filsafat dan Politik)
• Bahwa hasil survei yang dilakukan oleh LSI menunjukkan
contra logic dari Undang-Undang Pemilu, yaitu ada surplus
kekuasaan pada partai politik tetapi ada defisit legitimasi di
masyarakat tentang partai politik. Adapun dalil Pemerintah
yang mengatakan apabila terhalang oleh adanya ketentuan
pencalonan Presiden harus melalui partai politik maka
dirikanlah partai politik baru, adalah dalil yang sangat tidak
logis sebab justru berarti mengundang orang untuk
memperbanyak delegitimator di dalam proses politik;
• Undang-Undang Pemilu telah mengurung kemuliaan prinsip
citizenship dan seolah-olah memaksa semua orang menjadi
anggota partai politik. Dengan kata lain, warga negara oleh
Undang-Undang tersebut didiskriminasi menjadi warga
negara yang berpartai politik dan warga negara yang tidak
berpartai politik. Hal itu sama saja dengan perlakuan
diskriminatif dalam hal status sosial. Padahal konstitusi
meletakkan warga negara dalam kedudukan sebagai primer
atau imperatif, sementara partai kedudukannya
instrumental atau dipergunakan oleh warga negara;
16
• Menurut ahli, pasal tentang hak partai politik memonopoli
pencalonan Presiden adalah copy paste dari Undang-
Undang Dasar. Padahal Undang-Undang Dasar tidak
menganut hierarki semacam itu, seolah-olah ada hierarki
bahwa setelah prinsip warga negara ada prinsip
keanggotaan pada partai politik. Undang-Undang dibuat
sedemikian rupa untuk mengatakan bahwa prinsip yang
dipakai adalah kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai
politik. Oleh karena itu, prinsip yang paling penting adalah
Undang-Undang Pemilu seharusnya memagari warga
negara supaya dapat tumbuh sebagai warga negara yang
tidak didiskriminasi tetapi kenyataannya justru membatasi
hak-hak warga negara.
3. Refli Harun, S.H., LL.M (Ahli HTN dan Pemilu)
• Opini umum menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
1945 menutup pintu bagi Calon Presiden independen. Hal
ini dikaitkan dengan eksistensi Pasal 6A ayat (2) perubahan
ketiga UUD 1945 yang berbunyi, “Pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik sebelum pemilihan umum”.
Berdasarkan penafsiran original history atau original intent
tidak dapat dipungkiri bahwa Pasal 6A ayat (2)
dimaksudkan hanya partai politik atau gabungan partai
politik yang dapat mengajukan Calon Presiden;
• Hal tersebut dapat dipahami karena perumusan Pasal 6A
ayat (2) didominasi oleh partai politik yang tercermin dari
keanggotaan MPR periode 1999-2004. Jadi wajar kalau
kemudian original intent pada waktu itu memang
aspirasinya adalah hanya partai politik dan gabungan partai
politik yang dapat mengajukan Calon Presiden independen.
Akan tetapi berdasarkan yurisprudensi Mahkamah
Konstitusi tentang original intent, bahwa sebagai lembaga
penafsir UUD - the sole judicial interpreter of the
constitution - Mahkamah Konstitusi tidak boleh hanya
semata-mata terpaku kepada metode penafsiran
originalisme dengan mendasarkan diri hanya kepada
original intent perumusan pasal Undang-Undang Dasar
1945, ... (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUUIV/
2006)”. Berdasarkan yurisprudensi tersebut maka
original intent tidaklah merupakan satu-satunya metode
yang dipakai dalam praktik di Mahkamah Konstitusi;
• Mahkamah Konstitusi juga pernah memutuskan bahwa
hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945,
kendati ada ketentuan dalam konstitusi tentang hak hidup
serta hak mempertahankan hidup dan kehidupan, hak
17
hidup juga tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Oleh karena itu, apabila dibandingkan dengan Calon
Presiden independen maka menyatakan calon Presiden
independen tidak bertentangan dengan UUD 1945 tentu
lebih kecil resistensinya baik dari perspektif konstitusional
maupun penerimaan masyarakat. Dengan demikian, dari
constitutional morality tidak ada persoalan untuk
menyatakan Calon Presiden independen tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Dalam perspektif HAM Internasional
juga tidak ada pertentangannya sama sekali bahkan hal
tersebut adalah praktik lazim, yang dipraktikkan di negaranegara
yang demokratis.
4. Dr. Taufiqurrahman Syahuri, S.H., M.H. (Ahli HTN)
• Tafsir demokrasi sangat menarik setelah adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang
menyatakan bahwa calon perorangan tidak bertentangan
dengan demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Pasal 6
ayat (2) UUD 1945 memberi kewenangan kepada partai
politik untuk mengajukan Calon Presiden. Tetapi sebetulnya
tidak hanya itu karena masih ada kekuasaan-kekuasaan
rakyat. Jadi tafsir tentang demokrasi tidak hanya apa yang
eksplisit muncul di dalam konstitusi tetapi juga apa yang
tidak muncul secara eksplisit dalam konstitusi;
• Norma substansi dalam Pemilihan Presiden atau Wakil
Presiden adalah yang disebut pada Pasal 6A ayat (1) yaitu
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat, sedangkan ayat (2) mengatur
teknis cara atau proses recruitment Pasangan Calon. Ini
salah satu kedaulatan rakyat yang ditulis di dalam
konstitusi. Muatan materi Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak
menutup dibukanya peluang cara lain dalam recruitment
Pasangan Calon melalui jalur non partai politik. Muatan
materi Pasal 6A ayat (2) tersebut dapat ditafsirkan tidak
dimaksudkan membatasi Pasangan Calon hanya dari partai
politik karena teksnya tidak ada kata “hanya”;
• Kedaulatan rakyat atau demokrasi dilaksanakan harus
dalam bingkai hukum dasar. Demokrasi dalam Pemilu
eksekutif yakni Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilu
Presiden sesuai UUD 1945 yang dilaksanakan dengan cara
recruitment Pasangan Calon melalui jalur partai politik dan
non partai politik. Pembatasan pengajuan Pasangan Calon
hanya melalui partai politik tidak sesuai dengan tafsir
demokrasi oleh Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir
resmi UUD 1945.
18
5. Effendy Gazali, Ph.D (Ahli Komunikasi dan Politik)
• Apa yang terjadi sekarang jangan menyebabkan terjadinya
KKP yaitu (Kerugian Konstitusional Potensial) dari warga
negara lainnya. Pertama, arah sistem komunikasi politik
sudah tepat, salah satunya dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang membuka peluang
calon perorangan dalam Pilkada. Kedua, ideologi sebagai
kepentingan publik yang diklaim publik atau bagian
daripada publik tidak akan pernah terbagi habis atau tidak
akan pernah terakomodasi oleh partai politik-partai politik
berapapun jumlahnya di negara manapun di dunia. Di
sinilah munculnya kerugian konstitusional potensial, di
mana seseorang yang akan membawa ideologi tertentu
atau kepentingan tertentu tidak akan pernah
menemukannya dalam semua partai politik yang ada,
demikian pula ketika dia memilih. Dengan demikian baik
hak memilih maupun hak dipilih, kedua-duanya memiliki
implikasi kerugian konstitusional yang potensial. Ketiga,
bahwa Pasal 6A ayat (2) pasti sejalan atau harus dibaca
sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945. Keempat, tingkat
empirik keterbatasan eksplorasi demokrasi jangan sampai
membuat menjadi paranoid bahwa Calon Presiden
perorangan tidak dikenal karena hanya terpaku pada caloncalon
dari partai utama. Calon Presiden perorangan dalam
ilmu komunikasi politik adalah vaksin atau antibody yang
tetap diperlukan walaupun anda tidak suka karena justru
cinta pada tubuh yang ingin selalu fit. Terakhir, mengapa
dalam Pilkada boleh ada calon perseorangan sebagai akibat
Putusan Mahkamah Konstitusi sedangkan dalam Pemilu
Presiden tidak boleh?
6. Drs. Andrinof Chaniago, M.Si (Ahli Ilmu Politik dan
Kebijakan)
• Isi pokok dari konstitusi sebuah negara adalah pernyataan
tentang tujuan atau cara-cara bersama masyakat di negara
tersebut dan kedua tentang beberapa cara dan norma
mendasar untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Jika
kembali kepada tujuan bernegara sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat UUD 1945, wujud dari tujuan itu
tiada lain adalah sejauh mana negara mampu menyediakan
barang-barang dan jasa publik terbaik sebanyak mungkin
dan seluas mungkin menjangkau masyarakat. Namun
karena barang dan jasa publik juga mempunyai sifat
kelangkaan dan keterbatasan, sementara kelangkaan dan
19
keterbatasan itu sendiri tidak dapat ditutupi dengan sistem,
cara dan alat untuk menyediakan barang privat, satusatunya
cara untuk mengatasi keterbatasan jumlah dengan
kemampuan barang dan jasa publik itu kepada masyarakat
banyak adalah dengan memberikan proses atau cara atau
alat yang berkualitas untuk merencanakan, menetapkan,
mengeksekusi dan mengendalikan penyediaan barang dan
jasa publik. Cara itu tidak lain adalah menciptakan
demokrasi yang berkualitas, bukan demokrasi yang yuridis
formalistis atau demokrasi prosedural. Melihat sistem yang
berlaku saat ini dan kecenderungan perilaku elit politik
dalam mendapatkan dan mempertahankan kedudukan
politik yang dapat mengabaikan aspirasi sebagian
masyarakat dan melihat adanya peluang untuk
memperbaiki kualitas demokrasi itu dengan cara membuka
jalur perseorangan bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian nantinya akan memperbaiki kualitas
demokrasi dan akan menghilangkan peluang-peluang
terjadinya distorsi dan manipulasi suara rakyat oleh
segelintir elit pada sistem yang berlaku saat ini.
10. HAKIM KONSTITUSI : Dr. MUHAMMAD ALIM, S.H., M.Hum.
7. Yudi Latif, Ph.D (Ahli Ilmu Politik)
• Perundang-undangan yang memberikan hak eksklusif
kepada partai politik untuk mengusung Calon Presiden dan
Wakil Presiden mengalami kesesatan logika berlipat-lipat
karena sesat menurut logika kekuasaan, logika kedaulatan,
logika demokrasi dan juga logika konstitusional. Menurut
logika kekuasaan, kepala negara dalam sistem
presidensialisme bukan perpanjangan dari parlemen, yang
juga berarti bukan perpanjangan dari partai politik. Oleh
karena itu, partai politik sama sekali tidak mempunyai hak
monopoli untuk mengajukan Presiden. Ketika Presiden
dipilih langsung oleh rakyat maka membawa konsekuensi
partai politik kehilangan hak eksklusifnya. Di Amerika hal ini
dimungkinkan oleh non partisan party;
• Representasi politik tidak hanya diwakili oleh partai politik,
karena masih ada DPD, dengan demikian partai politik tidak
menghabisi representasi rakyat untuk mengartikulasikan
hak-hak politiknya. Atas dasar itu, hak untuk mengajukan
Presiden harus terbuka bagi party lain. Party dalam definisi
Max Weber bukan seperti partai politik, tetapi party dalam
arti kolektivitas, yaitu setiap kolektivitas yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi colective action atau merupakan
posisi-posisi kekuasaan dapat dipandang sebagai party.
20
Dalam kenyataannya colective action dapat dalam bentuk
partai politik, pressure group, interest group, atau social
movement. Semuanya mempunyai kemungkinan untuk
mengusung Presidennya sendiri;
• Menurut logika kedaulatan, konstitusi mengatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat, jadi posisi hak rakyat
berdaulat tidak dapat diwakilkan, artinya tidak sepenuhnya
dapat dimonopoli oleh satu lembaga representasi. Nation
dalam sistem demokrasi republik adalah nation of citizen.
Jadi nation daripada individu sebagai legal subject bukan
nation of political party, bukan nation of religious
community, bukan nation of the table group, bukan nation
dalam representasi kelompok, tetapi nation of citizen,
sebagai individu (legal right);
• Demokrasi harus selalu menyediakan sistem yang lain
seperti safety veil/jalur pengaman/jaket
pengaman/emergency exit. Kalau partai tidak dapat
dipercaya dan orang tidak mau memilih Presiden atas
pilihan partai politik, apakah dengan begitu berarti
demokrasi harus bangkrut. Oleh karena itu, harus ada
emergency exit. Di Amerika Serikat ada emergency exit
dengan dimungkinkan calon independen untuk dapat
diusung sebagai Presiden. Logika untuk mencalonkan
independen sama sekali bukan untuk membunuh partai
politik, tetapi justru dalam rangka menyehatkan partai
politik;
• Menurut logika konstitusional, seluruh pasal-pasal konstitusi
tidak ada yang memblokade kemungkinan calon
independen. Kata diusulkan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD
1945, menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu
”anjuran yang dikemukakan untuk dipertimbangkan”.
Dalam pasal a quo sama sekali tidak ada kata wording
apapun yang mengharuskan Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik. Dengan
demikian, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sama sekali tidak
memblokade hak-hak independen untuk dapat dicalonkan
dalam Pemilu Presiden.
[3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan
Pemerintah, selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk
Perkara Putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan sebagai
berikut:
Tentang Legal Standing Pemohon
1. Pemohon I tidak dalam posisi yang terhalangi, terkurangi
maupun terganggu hak-haknya untuk ikut serta berpartisipasi
21
dalam pemerintahan, juga Pemohon I tidak dalam keadaan
yang menerima perlakuan yang berbeda di dalam hukum,
karena pada kenyataannya Pemohon I dapat melakukan
aktivitas apa saja, termasuk aktivitas dalam rangka berperan
serta (berpartisipasi) dalam pemerintahan melalui berbagai
bidang yang tersedia, baik yang bersifat formal maupun
informal. Bukankah setiap orang agar dapat berperan serta
dalam pemerintahan tidak mesti/tidak harus menjadi pejabat
formal seperti menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika
Pemohon I merasa tidak puas, tidak cocok, tidak sreg, tidak
setuju dengan keberadaan partai politik peserta Pemilu legislatif
maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, karena dianggap
tidak kredibel, tidak mewakili kepentingan sebagian masyarakat
(termasuk Pemohon I), maka Pemohon I dapat membentuk
partai politik yang dianggap sesuai dengan keinginan dan
harapan Pemohon I, sehingga dapat mengusung Pemohon I
menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden;
2. Bahwa jika Pemohon II dan Pemohon III memilih untuk tidak
menggunakan hak-haknya untuk ikut serta (berpartisipasi)
dalam pemerintahan melalui pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya
untuk memilih Pasangan Calon yang tidak berasal dari partai
politik, hal ini merupakan pilihan yang bersifat sukarela yang
secara sadar diambil sebagai pilihan terbaik, karena hak untuk
tidak memilih siapapun/apapun (golput) juga merupakan hak
asasi setiap orang untuk menggunakannya;
Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah berpendapat
bahwa tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya Pasal 1
angka 4, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008,
karena itu kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan
Mahkamah terdahulu, karenanya sepatutnya Mahkamah Konstitusi
menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima.
Tentang Pokok Permohonan
1. a. Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 42/2008 memuat batasan
pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang
digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat
umum yang berlaku bagi pasal berikutnya.
b. Ketentuan umum perundang-undangan dimaksudkan agar
batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah
22
maka harus dirumuskan sehingga tidak menimbulkan
pengertian ganda.
Pemerintah berpendapat bahwa permohonan para
Pemohon yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan
atau hak-hal lain yang bersifat umum yang dijadikan
dasar/pijakan pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang a
quo, sangatlah tidak beralasan dan tidak tepat, karena ketentuan
a quo memberikan gambaran dan arah yang jelas terhadap apa
yang dimaksud dengan Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden, serta siapa saja yang memiliki kewenangan untuk
mengajukan Pasangan Calon dalam pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, sehingga menurut hemat Pemerintah sama sekali tidak
berkaitan dengan konstisionalitas keberlakuan UU 42/2008;
2. Bahwa Pemerintah tidak sependapat dengan alasan,
argumentasi dan anggapan para Pemohon yang menyatakan
bahwa ketentuan-ketentuan tersebut di atas, hanya
memberikan hak eksklusif kepada partai politik atau gabungan
partai politik untuk mengusulkan Calon Presiden dan Wakil
Presiden, dan karenanya dinggap telah mengurangi dan
menghalang-halangi hak-hak para Pemohon untuk memilih atau
menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan
(independen) dengan alasan sebagai beriktut:
a. bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah sangat jelas
bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum”. Semestinya rumusan norma dalam UUD 1945 tidak
ada dispute. Konstitusi kita tidak mengenal adanya Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden independen. Oleh karena
itu Pasal 8 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 tidak
bertentangan tetapi justru sejalan dengan Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945;
b. bahwa secara umum UU 42/2008, sebagai pelaksanaan
ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan,
“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.
Konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa
pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau
gabungan partai politik mencerminkan sistem yang dibangun
mengacu pada sistem komunal/ kolegial, bukan berdasarkan
pada sistem individual (perseorangan), sehingga dengan
demikian ketentuan yang tercantum dalam Pasal 8 dan Pasal
13 ayat (1) UU 42/2008 telah sejalan dengan amanat
konstitusi, sekaligus melaksanakan amanat tersebut secara
konsisten;
23
c. Pemerintah tidak sependapat dengan argumentasi para
Pemohon yang mendalilkan bahwa pemilihan kepala daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota) yang pencalonannya diusulkan
oleh partai politik, gabungan partai politik dan calon
perseorangan (berdasarkan putusan Mahkmaha Konstitusi
Nomor 05/PUU-V/2007) dapat dipersamakan dan mutatismutandis
dengan pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden, karena menurut Pemerintah diantara keduanya
memiliki perbedaan-perbedaan pengaturan yaitu (i)
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah dalam
rangka melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara
(Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UUD 1945) dan sebagai
pengaturan operasionalnya diatur dalam UU 42/2008. (ii)
sedangkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
(Gubernur, Bupati/Walikota) adalah dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah dan tugas perbantuan (Pasal 18
sampai dengan Pasal 18B UUD 1945), dan sebagai
pengaturan operasionalnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah;
3. Jika para Pemohon berkeinginan agar calon perseorangan
(independen) dapat ikut serta dalam pencalonan Presiden dan
Wakil Presiden, selain yang diusulkan oleh Partai Politik atau
gabungan Partai Politik, maka semestinya para Pemohon dapat
menyalurkan aspirasinya, mengusulkannya melalui Majelis
Permusyawaratan Rakyat, agar dilakukan perubahan
(amandemen) UUD 1945;
4. Pemerintah juga tidak sependapat dengan anggapan para
Pemohon yang menyatakan ketentuan di atas telah
memberikan perlakuan dan pembatasan yang bersifat
diskriminatif, karena pembatasan demikian sejalan dengan
ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Demikian pun
ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU
42/2008 tidak memberi perlakuan yang diskriminatif terhadap
para Pemohon, kecuali jika ketentuan a quo memberikan
pembatasan dan pembedaan yang didasarkan atas agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
maupun Pasal 2 ICCPR. Pasal-pasal Undang-Undang a quo
tidak diskriminatif dan justru memberikan kepastian hukum
terhadap proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan
tidak terkait masalah konstitusionalitas keberlakuan Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji, karenanya juga tidak
24
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1)
dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, dan meminta
agar Mahkamah menolak permohonan para Pemohon.
[3.13] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah
telah mengajukan empat orang ahli, yang memberikan keterangan
di bawah sumpah pada persidangan tanggal 28 Januari 2009,
selengkapnya telah termuat dalam bagian Duduk Perkara, pada
pokoknya menerangkan hal-hal berikut:
1. Dr. Moch. Isnaeni Ramdhan, S.H., M.H.
• Mengenai calon perseorangan, ahli berpendapat bahwa
mengacu pada Sila Keempat Pancasila, seharusnya caloncalon
perseorangan itu dihapus karena bersifat
individualistik dan tidak bersifat kolektifis sebagaimana
dituntut sila ke-4 yang menginginkan adanya demokrasi
perwakilan. Calon perseorangan bukan merupakan objek
permohonan konstitusi di Mahkamah Konstitusi tetapi
mungkin dapat dibicarakan sebagai wacana untuk
terjadinya perubahan ke-5 UUD 1945;
• Pada dasarnya hukum atau Undang-Undang yang
dimohonkan pengujiannya ini merupakan produk dari politik
fraksi-fraksi atau partai-partai untuk bicara pada
kepentingan-kepentingan yang lain. Ketika sudah menjadi
Undang-Undang maka fraksi atau Parpol atau kepentingankepentingan
itu harus tunduk pada hukum, bukan
sebaliknya;
2. Dr. Kacung Marijan
• Gabungan partai yang mengusung Pasangan Calon
Presiden itu adalah pengembangan dari demokrasi
konsensus untuk membangun sistem pemerintahan yang
stabil di Indonesia, karena Indonesia bukan penganut
sistem dua partai, melainkan sistem multipartai. Oleh
karenanya, bangunan demokrasi konsensus itu tak pelak
menjadi rujukan juga di dalam membangun sistem politik
yang tidak hanya demokratis tetapi juga stabil;
• Konstitusi Indonesia menganut sistem presidensial.
Mengutip Juan Linz, ahli menyatakan sistem presidensial
tidak kompatibel dengan pemerintahan yang stabil karena
Presiden dan DPR sama-sama dipilih oleh rakyat, artinya,
sama-sama menganggap dirinya mempunyai hak otoritas
dari rakyat. Hal ini memungkinkan konflik antara Presiden
dan DPR. Memang di dalam konstitusi sudah diatur apa
saja yang menjadi hak dan kewajiban DPR dan Presiden,
25
namun DPR bergerak bukan sebatas pada apa yang
tercatat di dalam Undang-Undang dan konstitusi, tetapi
juga berdasarkan interest, kepentingan. Untuk itu besarkecilnya
dukungan di DPR, mempunyai implikasi sangat
besar pada efektivitas implementasi kebijakan yang diambil
Pemerintah, dalam hal ini Presiden;
3. Cecep Effendi, Ph.D.
• Sistem multi partai, dalam sistem presidensial yang dikenal
di Indonesia dewasa ini menimbulkan persoalan hubungan
antar Presiden dengan lembaga legislatif. Presiden tidak
harus setiap waktu memerlukan dukungan legislatif untuk
mengatakan kebijakan-kebijakannya. Namun hampir pasti
dukungan itu dibutuhkan ketika presiden harus
melaksanakan kebijakan-kebijakan strategis. Semakin
terfragmentasinya partai-partai Pemerintah sebagai
konsekuensi dari sistem multipartai maka berpotensi
muncul semakin kecilnya dukungan pada partai
Pemerintah, dan ini berarti akan semakin sulit membangun
dukungan Presiden di parlemen. Sistem multipartai, dalam
sistem presidensial, akan memungkinkan terjadinya situasi
di mana partai yang mendukung Presiden harus bersaing
dengan partai-partai yang lain, dan oleh karena itu peluang
bagi semakin kecilnya dukungan kepada partai pemerintah
akan terjadi;
• Akibatnya, kelangkaan dukungan legislatif dari partai
Pemerintah di parlemen akan menyulitkan Presiden untuk
melaksanakan pemerintahan yang efektif, dan oleh karena
itu akan melahirkan kondisi an ungovernanciability, yang
berdampak buruk, oleh karena itu harus dipertimbangkan
secara cermat apakah mungkin dibangun sebuah sistem
presidensial yang efektif atau tidak, yang tidak didukung
oleh komunikasi yang baik dan dukungan yang kuat dari
parlemen.
4. Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H.
• Norma Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945
sudah memuat secara lengkap siapa subjek hukum yang
diberikan kewenangan mengusulkan Presiden. Subjek
hukumnya adalah jelas yaitu partai politik atau gabungan
partai politik, sebelum Pemilu. Delegasinya adalah tata cara
pemilihan Presiden diatur dalam Undang-Undang;
• Mengenai legal standing, ahli sependapat dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 054/PUU-III/2004 yang
26
menyatakan bahwa pengusulan Capres dan Cawapres itu
merupakan hak konstitusional partai politik. Sebenarnya
dari sisi politik perundang-undangan ini dapat dipahami,
karena domain penyusunan konstitusi itu berada di tangan
lembaga-lembaga politik yang berada di Senayan melalui
perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, diskusi tentang
calon perseorangan sesungguhnya akan membuka ruang
bagi amandemen UUD dan forum yang paling tepat untuk
calon perseorangan adalah nanti dalam amandemen UUD,
tidak melalui interpretasi UUD di Mahkamah Konstitusi;
• Kemudian, banyak ahli yang menyamakan antara
konstruksi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tentang Pemilihan
Kepala Daerah dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tentang
Pemilihan Presiden. Norma yang ada di dalamnya sungguh
berbeda. Subjek dalam Pasal 18 ayat (4) adalah gubernur,
bupati, dan walikota. Siapa yang mengusulkan, tidak
dijelaskan di dalam konstitusi. Oleh karena itu, di sanalah
diberikan ruang-ruang bagi pilihan-pilihan kebijakan.
Namun demikian, berbeda dengan Pasal 6A ayat (2), subjek
hukum yang mengusulkan sudah jelas yaitu partai politik
atau gabungan partai politik;
[3.14] Menimbang bahwa Mahkamah juga telah mendengar keterangan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), selengkapnya telah diuraikan
pada bagian Duduk Perkara Putusan ini, yang pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
􀂃 Dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik. Meskipun metode penafsiran terhadap Konstitusi
sangat beragam namun DPR tidak dapat keluar dari penafsiran
bahwa hal tersebut sudah sangat gamblang, sudah sangat
nyata ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dengan
demikian hanya partai politiklah sebagai sebuah institusi yang
berhak mengajukan Pasangan Calon;
􀂃 Sesungguhnya hal tersebut memang sejak awal didesain agar
hanya partai politiklah yang berhak mengajukan Pasangan
Calon karena ingin membangun sistem bahwa aspirasi orang
per orang atau aspirasi masyarakat harus
terinstitusionalisasikan, harus terlembagakan. Tidak dapat
kemudian upaya mengagregasi atau memperjuangkan aspirasi
dilakukan oleh semua orang secara bebas. Hakikat dari
keberadaan partai politik sebagai sebuah pranata institusi yang
memang fungsinya adalah memperjuangkan aspirasi kumpulan
orang-orang yang sepaham, seide. Dasar tersebut merupakan
sistem yang ingin dibangun melalui pemilihan Presiden secara
langsung. Oleh karenanya tidak ada bias kepentingan partai
27
politik ketika lahir Pasal 6A ayat (2), yang kemudian menjadi
acuan dalam melahirkan norma yang ada dalam Pasal 1 angka
4, Pasal 8 maupun Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 karena
memang pemahaman kita tentang hal itu sama sekali bukan
kepentingan partai politik karena rumusan itu dibuat juga oleh
berbagai ragam golongan masyarakat, ada fraksi utusan
golongan, utusan daerah, TNI/Polri, dan lain sebagainya;
􀂃 Bahwa DPR bersama Pemerintah ketika merumuskan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 memahami bahwa Pilkada
sangat berbeda dengan Pilpres, sebab berkaitan dengan siapa
calon yang dimungkinkan untuk ikut berkompetisi dalam
pemilihan itu. Pilkada sesuai dengan ketentuan Konstitusi hanya
diatur dalam Pasal 18 itupun tidak diatur secara langsung
karena Pasal 18 ayat (4) jelas mengatakan bahwa pemilihan
kepala daerah itu dilakukan secara demokratis yang kemudian
atas putusan Mahkamah Konstitusi dimungkinkan adanya calon
independen. Namun pemilihan Presiden jelas eksplisit
dinyatakan dalam UUD 1945, hanya Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang berhak mengusulkan. Sehingga
dilihat secara konstruksi memang sama sekali berbeda.
11. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H.
Pendapat Mahkamah
[3.15] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian
para Pemohon dalam permohonannya dan keterangan para
Pemohon dalam persidangan, bukti-bukti tertulis, keterangan ahli
yang diajukan oleh para Pemohon, keterangan DPR, keterangan
Pemerintah, bukti-bukti dan keterangan ahli Pemerintah, serta
kesimpulan para Pemohon dan kesimpulan Pemerintah
sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat
sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa masalah utama yang harus dipertimbangkan dan
diputuskan oleh Mahkamah dalam perkara ini adalah mengenai
inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal
13 ayat (1) UU 42/2008, yang menurut para Pemohon tidak
mengakomodasi Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan
atau independen, selain calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik;
[3.15.2] Bahwa dari permasalahan hukum tersebut maka yang harus
mendapat penilaian hukum adalah:
1. Apakah perseorangan untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil
Presiden selain usulan dari partai politik atau gabungan partai
politik dimungkinkan oleh UUD 1945?
28
2. Apakah pasal-pasal dalam UU 42/2008 yang tidak memuat
calon perseorangan untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil
Presiden bertentangan dengan UUD 1945.
[3.15.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pasal-pasal yang
dimohonkan untuk diuji sebagaimana diuraikan dalam paragraf
[3.15.1] di atas, maka Mahkamah terlebih dahulu akan
mengemukakan pandangan hukum sebagai berikut:
1. Bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum”. Pasal 6A ayat (5) UUD 1945
berbunyi, “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”;
2. Bahwa dalil Pemohon terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 di
atas adalah tidak adanya kata “hanya” atau “harus” diajukan
oleh partai politik atau gabungan partai politik, sehingga calon
perseorangan dapat diajukan tanpa melalui partai politik dan
atau gabungan partai politik. Menurut Mahkamah, meskipun
tidak ada kata “hanya” atau “harus”, namun keharusan tersebut
dengan sendirinya menjadi niscaya sesuai dengan kehendak
awal (original intent) pembentuk UUD 1945. Jika alasan tidak
adanya kata “hanya” atau “harus” kemudian diartikan Pasangan
Calon Pesiden/Wakil Presiden boleh diajukan tanpa melalui
partai politik atau gabungan partai politik, maka Pasal 4 ayat
(2) yang menyatakan “…Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden”, tanpa ada kata “hanya” atau “harus” dapat diartikan
juga bahwa Presiden dapat dibantu oleh beberapa orang Wakil
Presiden. Padahal, dari sudut apa pun penafsiran yang
demikian tidaklah dapat diterima;
3. Bahwa para Pemohon dalam kesimpulannya mengutip
pendapat Herman Heller yang menyatakan bahwa “Konstitusi
itu adalah seperti apa yang dimaknai oleh masyarakat” (Die
Politische Verfassungs als Gesselschaftlich wirklichkeit). Dengan
membaca rumusan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, justru
para pembentuk Undang-Undang dan masyarakat memahami
bahwa frasa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik...”
diartikan bahwa hanya partai politik dan gabungan partai
politiklah yang dapat mengusulkan Calon Presiden dan Wakil
Presiden. Hasil temuan Lembaga Survey Indonesia tahun 2007
dan tahun 2008 yang menyimpulkan bahwa sebagian besar
rakyat Indonesia menginginkan dibukanya peluang Calon
Presiden independen, menurut Mahkamah tidak dapat menjadi
alasan untuk menafsirkan ketentuan dalam Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945 untuk memberi peluang adanya Calon Presiden dan
29
Wakil Presiden perseorangan. Sebab, hasil survey yang tidak
atau belum menjadi isi konstitusi tidak dapat dijadikan
pedoman.
4. Bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dalam
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa
hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat
mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan
demikian, frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya
interpretasi lain, seperti menafsirkannya dengan kata-kata
diusulkan oleh perseorangan (independen) apalagi pada saat
pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon
Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak
disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal
6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya
partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat
mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (vide
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV “Kekuasaan
Pemerintahan Negara” Jilid 1, halaman 165 – 360);
5. Bahwa atas dasar Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 pembentuk
undang-undang sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 20
UUD 1945 kemudian membentuk UU 42/2008, yang memuat
pasal-pasal di antaranya yang dimohonkan pengujian oleh para
Pemohon yaitu Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13
ayat (1). Pasal-pasal tersebut menggunakan frasa “partai politik
atau gabungan partai politik” untuk mengusulkan Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai turunan langsung
dari bunyi UUD 1945;
6. Bahwa rumusan Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13
ayat (1) UU 42/2008 intinya menentukan bahwa Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan didaftarkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum (yang memenuhi persyaratan) sebelum
pelaksanaan pemilihan umum. Rumusan demikian menurut
Mahkamah tidak diskriminatif karena siapa saja yang memenuhi
syarat demikian dapat diusulkan dan didaftarkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik untuk menjadi Presiden
dan/atau Wakil Presiden tanpa harus menjadi Pengurus atau
Anggota Partai Politik;
7. Bahwa jika Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menjadi sumber
rumusan pasal-pasal yang diuji dari UU 42/2008, dapat
ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga menampung Calon
Presiden dan Wakil Presiden perseorangan, maka hal itu
30
merupakan perubahan makna dari yang dimaksudkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, artinya jika membatalkan
pasal a quo, Mahkamah telah melakukan perubahan UUD 1945,
yang berarti bertentangan dengan kewenangan Mahkamah
dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal
10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman;
8. Keterangan Pemohon dalam persidangan tentang
diperbolehkannya Calon Presiden dan Wakil Presiden
perseorangan seperti sistem pemilihan Presiden di Amerika
Serikat menurut Mahkamah tidak serta merta dapat
diberlakukan di Indonesia karena selain adanya perbedaan
konstitusi dan karakter sistem Pemilu yang diterapkan di
Indonesia juga ada aspek lain seperti perbedaan budaya politik
baik para elit politik maupun masyarakatnya masing-masing;
9. Keterangan ahli Pemohon, yang menyatakan bahwa kita perlu
membangun Konstitusi sebagai “the living constitution” atas
UUD 1945, menurut Mahkamah tidak berarti bahwa apabila
pasal yang diuji tidak mengakomodasi calon perseorangan
menjadikan UUD 1945 bukan “the living Constitution”. The
living Constitution terwujud justru apabila konstitusi itu diterima
dan dijalankan dengan sebaik-baiknya;
10. Bahwa dalam keadaan kebebasan orang membentuk partai
politik seperti sekarang ini, calon dapat membentuk partai
sendiri sesuai dengan visi-misi partai yang hendak dibentuknya
apabila tidak suka dengan partai yang telah ada tanpa halangan
sehingga alasan pencalonan Presiden di luar partai politik
menjadi tidak relevan atau tidak beralasan.
[3.16] Menimbang bahwa sesuai dengan pandangan hukum tersebut di
atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pasal-pasal
yang dimohonkan pengujian sebagai berikut:
1. Terhadap ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 42/2008, menurut
pendapat Mahkamah:
a. Ketentuan Pasal 1 angka 4 UU 42/2008, diatur dalam Bab I
tentang Ketentuan Umum, yang memuat tentang batasan
pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang
digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat
umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya antara lain
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud dan tujuan
(vide lampiran C.1. 74 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan).
Ketentuan Umum yang dimaksud dalam suatu
peraturan perundang-undangan dimaksudkan agar batas
pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang
31
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah
memang harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan pengertian ganda (vide lampiran C.1. 81
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan);
b. Pengertian atau yang dimaksud dengan Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya disebut
Pasangan Calon, sebagaimana ditentukan dalam UU
42/2008, adalah Pasangan Calon yang memenuhi
persyaratan untuk ikut serta dalam pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden, yaitu dari mulai siapa Pasangan
Calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik; syarat-syarat Pasangan Calon; mekanisme
pencalonan Pasangan Calon; tata cara kampanye yang
dilakukan oleh Pasangan Calon; mekanisme pemungutan
suara untuk memilih Pasangan Calon sampai pada
penetapan Pasangan Calon terpilih sebagai Presiden dan
Wakil Presiden;
c. Permohonan para Pemohon yang mempersoalkan batasan
pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum
yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal-pasal berikutnya
dalam Undang-Undang a quo, sangat tidak beralasan dan
tidak tepat, sebab konstruksi ketentuan a quo justru telah
memberikan gambaran dan arah yang jelas mengenai apa
yang dimaksud dengan Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden;
2. Terhadap ketentuan Pasal 8 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008,
menurut pendapat Mahkamah:
a. Kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1945 tentang
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah jelas bahwa “Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Berdasarkan original
intent tersebut, UUD 1945 hanya mengenal adanya
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum, sehingga secara umum UU 42/2008 hanya
merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD
1945, yang menyatakan, “Tata cara pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang”;
b. Dengan demikian, pengaturan tentang partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang
berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan
Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008, merupakan pelaksanaan
32
ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan,
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan
perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi,
bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau
gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik
yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial,
bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan);
3. Terhadap ketentuan Pasal 9 UU 42/2008, khususnya yang
terkait dengan frasa “partai politik atau gabungan partai
politik”, Mahkamah mengacu pada pertimbangan angka 2 di
atas, sehingga mutatis-mutandis berlaku terhadap frasa “partai
politik atau gabungan partai politik”, dalam ketentuan Pasal 9
a quo;
[3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan
bahwa Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk perwujudan dari
kedaulatan rakyat yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 adalah benar. Akan tetapi, pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 tersebut tidaklah melanggar hak seseorang “untuk
memilih dan dipilih”. Dalam pelaksanaan Pemilu maka setiap
orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan
kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden, namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan
Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A
ayat (2) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU
42/2008 a quo. Dengan demikian pembatasan dalam Pasal 1
angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008
tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan
bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif. Apalagi jika
dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan
bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan menurut UUD
1945.
[3.18] Menimbang bahwa berkait dengan calon perseorangan dalam
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah dalam
Putusan Nomor 007/PUU-II/2004 tanggal 23 Juli 2004, Putusan
Nomor 054/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dan Putusan
Nomor 057/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dalam
pertimbangan hukumnya (pada pokoknya) telah mengemukakan,
bahwa untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden adalah hak
setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan
ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945
sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
33
Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan
dalam melaksanakan hak termaksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945
menentukan tata caranya yaitu harus diajukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik. Diberikannya hak konstitusional
untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya
hak konstitusional warga negara, in casu para Pemohon, untuk
menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden karena hal itu
dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 apabila warga negara
yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan
oleh Pasal 6 dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, persyaratan mana
merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat terhadap
setiap orang yang berkeinginan menjadi Calon Presiden Republik
Indonesia.
12. KETUA : Prof. Dr. MAHFUD MD, S.H.
4. KONKLUSI
Berdasarkan pertimbangan fakta dan hukum di atas, Mahkamah
berkesimpulan:
[4.1] Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9 sepanjang frasa “partai politik
atau gabungan partai politik”, dan Pasal 13 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
keseluruhan;
[4.2] Dalil-dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan.
5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316);
34
Mengadili,
Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
oleh delapan Hakim Konstitusi pada hari Jumat, tanggal tiga belas bulan
Februari tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Selasa, tanggal
tujuh belas bulan Februari tahun dua ribu sembilan, oleh kami Moh.
Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Maruarar Siahaan, Maria
Farida Indrati, Achmad Sodiki, Abdul Mukthie Fadjar, M. Akil Mochtar, M.
Arsyad Sanusi, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota,
dengan dibantu oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, serta
dihadiri oleh Pemohon/Kuasa Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili,
dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
Terhadap Putusan Mahkamah tersebut di atas, terdapat tiga orang
Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda, yaitu Abdul
Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan dan M. Akil Mochtar sebagai berikut:
13. HAKIM KONSTITUSI : PROF. ABDUL MUKHTIE FADJAR, S.H., M.S
6. PENDAPAT BERBEDA
[6.1] Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar
1. Isu utama dalam perkara a quo adalah apakah Pasal 1 angka
4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 yang
tidak memberi ruang bagi perseorangan untuk menjadi calon
Presiden dan Wakil Presiden selain melalui pengusulan oleh
partai politik atau gabungan partai politik bertentangan dengan
UUD 1945?
2. Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 telah
dengan tegas menentukan prinsip bahwa setiap warga negara
mempunyai kedudukan, hak, dan kesempatan yang sama
dalam pemerintahan, yang berarti bahwa tidak boleh ada
ketentuan yang menghalang-halangi akses bagi seseorang
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang
untuk menduduki jabatan-jabatan publik, in casu jabatan
Presiden dan Wakil Presiden. Apabila ada ketentuan yang
demikian, berarti mendiskriminasi warga negara atau
seseorang [Pasal 28I ayat (2) UUD 1945] dan melanggar
prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan.
3. Sementara itu, untuk menduduki jabatan Presiden dan Wakil
Presiden, Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 telah menentukan
persyaratan utamanya, yaitu:
a. harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya;
35
b. tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri;
c. tidak pernah mengkhianati negara; serta
d. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan
tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Lebih lanjut, persyaratan untuk menjadi Presiden
dan Wakil Presiden atas perintah Pasal 6 ayat (2) diatur
dengan undang-undang, in casu UU 42/2008 Pasal 5. Dengan
demikian, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal
5 UU 42/2008 mengatur tentang persyaratan calon Presiden
dan Wakil Presiden yang di dalamnya tidak ada ketentuan
harus dari partai politik. Oleh karena itu, siapa pun warga
negara Indonesia yang memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1)
UUD 1945 juncto Pasal 5 UU 42/2008 harus mendapat akses
yang sama untuk dapat menjadi calon Presiden dan Wakil
Presiden.
4. Pasal 6A UUD 1945 bukanlah ketentuan yang mengatur
mengenai persyaratan (requirement), melainkan mengenai
cara atau prosedur pencalonan yang seharusnya tidak
menafikan siapa pun yang memenuhi persyaratan untuk
menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, baik yang
bersangkutan mencalonkan diri sendiri maupun
dicalonkan/diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Ibaratnya seseorang bermaksud masuk universitas,
yang penting dipenuhi persyaratannya, bukan karena ia
membiayai diri sendiri atau dibiayai orang tua atau orang lain.
Oleh karena itu, prosedur semestinya tidak mengalahkan
persyaratan. Partai politik atau gabungan partai politik
hanyalah “kendaraan” atau “tempat pemberangkatan”
(embarkasi) bagi calon yang seharusnya tidak mutlak harus
dipakai atau dilalui.
5. Tambahan pula, kalau terjadi perselisihan hasil Pemilu (PHPU)
Presiden dan Wakil Presiden, yang menjadi “subjectum litis”
bukanlah partai politik atau gabungan partai politik yang
mengusungnya, melainkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang bersangkutan, jadi bersifat individual, bukan
kolektif parpol pengusungnya. Simak ketentuan Pasal 74 ayat
(1) huruf b UU MK, bahwa pemohon dalam PHPU Presiden dan
Wakil Presiden adalah pasangan calon, bukan partai politik
pengusungnya. Demikian pula Pasal 201 UU 42/2008
menyatakan, “Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh
Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi ...”
6. Dengan demikian, seharusnya perseorangan diberi ruang
untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden,
selain yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
36
politik. Aspirasi yang demikian juga pernah diusulkan oleh
Komisi Konstitusi bentukan MPR dalam rekomendasinya
tentang Perubahan UUD 1945 sbb.: “Komisi Konstitusi juga
mengajukan usul revisi substansial terhadap Pasal 6A ayat (2)
dengan menambah calon independen bagi calon Presiden,
sehingga tidak dibatasi pada aspirasi partai politik (termasuk
gabungan partai politik) melainkan juga calon-calon di luar
partai politik. Dengan merumuskan pasal ini diharap
perjuangan demokrasi partisipatorik dapat lebih terwujud
dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia” (vide Buku I
Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi
tentang Perubahan Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia Tahun 1945, halam 126). Memang Pasal 6A ayat (2)
UUD 1945 seolah-olah telah menafikan calon perseorangan
yang kemudian diderivasi dalam UU 42/2008, namun
seharusnya aspirasi yang hidup perlu mendapatkan saluran,
baik dengan maupun tanpa perubahan UUD 1945, khususnya
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
7. Meskipun calon perseorangan perlu mendapatkan ruang dalam
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, namun secara realistis
tidak mungkin untuk Pemilu 2009 yang sudah sangat dekat
waktunya. Barangkali pada Pemilu tahun 2014 atau 2019 dapat
diwujudkan, sehingga menurut pendapat saya Pasal-pasal UU
42/2008 yang dimohonkan pengujian bersifat “conditionally
constitutional” atau “conditionally unconstitutional”, dalam arti
konstitusional atau tidak konstitusionalnya bersyarat, yaitu
“konstitusional apabila memberi ruang bagi calon
perseorangan” atau “tidak konstitusional apabila tidak memberi
ruang bagi calon perseorangan”.
14. HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H.
[6.2] Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan
Sebelum memberikan penilaian atau pengujian terhadap
pasal-pasal yang dimohonkan para Pemohon, kami perlu
mengemukakan kembali pendirian kami tentang penafsiran
konstitusi dan terjadinya perubahan UUD 1945 secara parsial
dalam kurun waktu yang berbeda dengan konteks yang berbeda,
dan juga yang berdampak pada pemaknaan pasal-pasal UUD 1945
secara individual. Mahkamah sebagai pengawal dan penafsir
konstitusi yang melakukan tugasnya dalam situasi demikian, harus
melakukan harmonisasi menyeluruh melalui interpretasi yang
selayaknya sehingga UUD 1945 dengan empat kali perubahannya
memenuhi asas the unity of constitution, sehingga UUD 1945
37
merupakan pokok-pokok pikiran atau konsepsi dan dokumen
tunggal yang utuh (coherrent).
Pasal 6A ayat (2) diadopsi sebagai bagian dari UUD 1945
dalam perubahan ke tiga UUD 1945 pada tahun 2001, yang
menurut Pemerintah, sebagaimana termuat dalam kesimpulannya,
adalah mengatur hak konstitusional partai untuk mengusulkan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, dan bukan
mengatur hak perseorangan. Sementara itu gagasan calon
perseorangan atau independen, menurut Pemerintah, dalam
keterangan tertulis yang diberikan kepada Mahkamah adalah
paham individualisme, padahal Indonesia menganut paham
kolektivisme.
Dalam perdebatan BPUPKI ketika membahas Pembukaan
UUD bagi Indonesia Merdeka, penolakan terhadap paham aliran
pikiran perseorangan, yang kemudian dalam pidato Soepomo
dikatakan, para pendiri Republik menolak aliran pikiran
perseorangan dan menerima serta menganjurkan aliran pikiran
kekeluargaan, yaitu bahwa negara kita bersifat kekeluargaan,
yang kemudian secara specifik dikatakan sebagai negara
integralistik. Dalam perdebatan lanjutan, juga dicatat adanya
pendapat yang ingin memasukkan hak-hak asasi manusia dalam
UUD yang akan dibentuk, dan menyatakan perlunya hak-hak asasi
tersebut dijamin, sehingga tidak ada ketakutan bagi warga negara
misalnya untuk mengemukakan pendapat. Dari perdebatan dan
rumusan yang kemudian diterima, meskipun Negara yang
dibentuk tidak menganut paham individualisme, akan tetapi
negara tidak mengesampingkan hak-hak individu atau perorangan
dalam kehidupan yang dikatakan integralistik atau kekeluargaan
tersebut, melainkan dijamin, meskipun tidak dimuat secara
lengkap dalam UUD yang dibentuk. Supomo memberi gambaran
bahwa: “Dalam sistem kekeluargaan sikap warganegara bukan
sikap yang selalu bertanya: apakah hak-hak saya, akan tetapi
sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota
keluarga besar, ialah negara Indonesia. Bagaimanakah kedudukan
saya sebagai anggota keluarga darah... Inilah pikiran yang harus
senantiasa diinsyafkan oleh kita semua.
Penolakan Hatta yang keras meminta supaya aturan
kemerdekaan warga negara dimasukkan ke dalam UUD dengan
seluas-luasnya, dan menolak segala alasan yang dimajukan untuk
tidak memasukkannya karena hal ini menyangkut hak rakyat.
Beliau menyatakan dengan tegas bahwa: ”Kalau hal ini tidak
terang dalam hukum dasar, ada kekhilafan dari pada grondwet;
grondwettelijk fout, kesalahan undang-undang hukum dasar,
besar sekali dosanya buat rakyat yang menantikan hak daripada
republik.
38
Pengalaman empiris Indonesia yang ternyata kemudian
memandang bahwa paham integralistik tersebut tidak sesuai
dengan cita-cita kemerdekaan, telah ditegaskan dalam perubahan
UUD yang mengadopsi sistem hak-hak asasi manusia secara
komprehensif, yang juga bersesuaian dengan sistem HAM yang
berlaku secara universal. Oleh karena itu, tidaklah relevan
argumentasi yang menyatakan Negara Republik Indonesia
menganut paham kolektivisme dan karenanya menolak sistem hak
asasi manusia karena merupakan paham individualisme, karena
hak asasi yang dilindungi konstitusi tersebut adalah merupakan
suatu bentuk pembatasan terhadap kekuasan negara dan
Pemerintah, sehingga kolektivisme masyarakat Indonesia dan
individu-individu warga negara yang memiliki hak dan
kebebasannya, tidak dilihat dalam pertentangan melainkan saling
melengkapi satu dengan yang lain.
Oleh karenanya tidak dapat dibenarkan suatu argumen
yang mencoba mengesampingkan prinsip-prinsip hak asasi
manusia sebagai fundamental rights yang merupakan bagian
relevan dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang perlu untuk
dipahami dan memaknai pasal-pasal nya secara holistik, dan
bukan secara individual terlepas satu dari yang lain. Pasal 6A ayat
(2) berbunyi: ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pemilihan umum”. Memang jika
ditafsirkan secara berdiri sendiri, teks pasal tersebut tidak
membuka peluang untuk diartikan lain, karena memang dilihat
dari normanya yang sesungguhnya sangat konkret, teks demikian
bukanlah merupakan materi muatan konstitusi, yang seharusnya
hanya rumusan umum yang abstrak dalam bahasa prinsip atau
asas-asas. Materi muatan konstitusi selayaknya hanya
menyangkut tiga kategori, yaitu, pertama perlindungan terhadap
hak asasi manusia, ke dua, susunan ketatanegaraan yang
mendasar, dan ke tiga, pembagian dan pembatasan tugas-tugas
ketatanegaraan yang juga bersifat mendasar (Sri Sumantri, dalam
Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945.
Muatan materi yang diatur Pasal 6A ayat (1) UUD 1945
bersama-sama dengan ayat (2) kemudian dalam ketentuan UU
42/2008 sebagaimana ditemukan dalam Pasal 8, sesungguhnya
sama sebangun, meskipun dengan variasi kecil, sehingga
berbunyi: ”Calon Presiden dan calon Presiden diusulkan dalam
1(satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik”.
Oleh karenanya sepintas lalu dengan penafsiran tekstual individual
terhadap Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, maka secara mudah dapat
dikatakan tidak ada pertentangan Pasal 8 UU 42/2008 dan pasalpasal
lain yang berkaitan, berkenaan dengan frasa “diusulkan oleh
Partai Politik atau gabungan Partai Politik” dengan mengatakan
39
bahwa Pasal 8 dan pasal-pasal lain yang berkaitan hanya
menyalin bunyi Pasal 6A ayat (2) tersebut. Akan tetapi penafsiran
demikian tampak jelas telah mengabaikan doktrin “the unity of
constitution”, yang harus membaca Pasal 6A ayat (2) tersebut
dalam hubungan dengan keseluruhan batang tubuh dan
pembukaan UUD 1945 tersebut, untuk dapat menemukan makna
sesungguhnya dari pasal a quo. Jika tidak demikian maka tafsir
semacam itu, pasti akan membawa kesesatan yang mendasar,
yang seolah-olah perubahan UUD yang bertahap dan parsial
terlepas satu dari yang lain, dan tidak menjadi masalah yang
membawa konsekuensi terhadap keutuhan UUD 1945 sebagai
satu staatsidee dan rechtsidee dan dilihat hanya secara pragmatis
belaka dengan tafsir tekstual yang berdiri sendiri lepas dari pasalpasal
lainya tidak dalam satu sistem. Apalagi Peserta Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, bukanlah Partai Politik,
melainkan Pasangan Calon secara perseorangan seperti halnya
Pemilihan DPD, dan Partai Politik hanya merupakan peserta
dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, dan DPRD.
Terlepas dari bunyi Pasal 6A secara harfiah yang
dimaksudkan untuk memberi hak konstitusional pada Partai Politik
untuk mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam
Pemilihan Umum, dilihat secara kesisteman dalam konstitusi yang
utuh dimana hak perorangan dijamin dan dilindungi oleh
konstitusi yang sama, maka hak konstitusional Partai Politik yang
disebut Pemerintah dikandung oleh Pasal 6A ayat (2) tidaklah
bermaksud untuk meniadakan hak-hak dasar yang disebut dalam
Bab XA disebutkan dimiliki dan dijamin terhadap setiap orang
untuk turut serta dalam pemerintahan, dan diperlakukan secara
sama, baik mereka yang berpartai politik dan diusulkan oleh Partai
Politik maupun yang tidak berpartai politik [Pasal 28D ayat (3)
dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945]. Kalaupun benar Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945 merupakan hak konstitusional partai politik, maka
hak yang demikian hanyalah merupakan derivasi dari hak-hak
dasar warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan, yang
diorganisir melalui partai politik, yang merupakan perwujudan hak
untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat
dan memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Tafsir Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengesampingkan pasalpasal
UUD yang disebut di atas, pasti menggambarkan kerancuan
berpikir yang tidak logis dalam paham konstitusionalisme dalam
kehidupan bernegara;
Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-V/2007, yang membuka
calon perseorangan dalam pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada), merupakan rujukan yang sangat relevan bagi tafsir
Pasal 6A ayat (2) tersebut, meskipun oleh Pemerintah dan DPR
40
serta para ahli disangkal sebagai berbeda, dengan alasan bab
Pemilukada berada dalam rezim Pemerintahan Daerah, sedang
Pemilihan Presiden/Wakil Presiden berada dalam rezim Pemilihan
Umum. Kami tidak sependapat dengan argumen demikian, karena
dilihat dari kategori pimpinan eksekutif negara, kedua-duanya
dalam kategori yang sama. Apalagi Pasal 22E UUD 1945 adalah
hasil perubahan ke tiga pada bulan Juni, sedangkan Pasal 18 ayat
(4) merupakan hasil perubahan ke dua pada tahun 2000 yang
masih dipengaruhi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang mulai berlaku tahun 2001.
Tidak terdapat alasan mendasar untuk membedakan sifat
keterpilihan (electability) Presiden sebagai pimpinan eksekutif
nasional, dengan kepala daerah sebagai pimpinan eksekutif lokal.
Sehingga oleh karenanya, perkembangan pemikiran dan
kesadaran konstitusi yang diserap dalam putusan tersebut
merupakan variabel yang sangat relevan sebagai rujukan dalam
menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tersebut. Mahkamah
menuliskan pandangannya sebagai berikut:
“Bahwa perkembangan pengaturan Pilkada sebagaimana
dipraktikkan di Aceh telah melahirkan realitas baru dalam
dinamika ketatanegaraan yang telah menimbulkan realitas baru
dalam dinamika ketatanegaraan yang telah menimbulkan
dampak kesadaran konstitusi secara nasional, yakni dibukanya
kesempatan bagi calon perseorangan dalam pilkada...”.
“...bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi
masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan
demokrasi..., sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi
dengan mekanisme lain di luar parpol secara perseorangan
dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”;
Kami secara konsisten berpendapat bahwa perkembangan
pandangan dan kesadaran yang tumbuh di dalam masyarakat
tentang pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana
digambarkan oleh survei yang dilakukan oleh ahli Pemohon yang
turut menjadi bagian bukti perkara ini, telah semakin menegaskan
bahwa dimungkinkannya calon perseorangan atau independen
yang tidak hanya melalui jalur partai politik, dipandang sebagai
pandangan yang hidup dan menjadi aspirasi rakyat, dimana
mayoritas warga masyarakat menganggap setiap warga
mempunyai hak untuk mencalonkan diri sebagai Presiden, dan
pencalonan hanya melalui partai politik dianggap mengurangi dan
membatasi hak politik warga negara. Perkembangan kesadaran
baru demikian yang justru tumbuh di dalam masyarakat dan di
antara warga negara sebagai pemegang kedaulatan, tidak dapat
dikesampingkan demikian saja oleh penafsir konstitusi sebagai
konteks riil di mana UUD 1945, memperoleh tempat berpijak dan
bersumber. Oleh karenanya, penafsiran atas Pasal 6A ayat (2)
41
tersebut dilihat dari keseluruhan sistem UUD 1945 dalam tahap
perubahan yang berbeda, dan kesadaran konstitusional dan
aspirasi yang berkembang dan tumbuh dalam masyarakat, yang
turut berperan menentukan makna pasal tersebut secara
kontektual dalam masyarakat Indonesia yang sedang dalam
proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di bawah UUD 1945,
tidak menutup jalur pengusulan Pasangan Calon Presiden di luar
Partai Politik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, adalah salah
satu wujud partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
kehidupan demokrasi, dan wujud partisipasi masyarakat yang lain
dalam demokrasi di luar partai politik, adalah dengan membuka
pencalonan secara perseorangan atau independen. Dan yang
dimaksud dengan “perorangan“ termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama, sehingga tidaklah selalu diartikan
secara individual dan dengan mengabaikan pengorganisasian
kepentingan yang berada di luar jalur partai politik.
Berdasarkan penafsiran atas Pasal 6A ayat (2) sebagai
norma konstitusi yang menjadi sumber legitimasi pengaturan
Pasal 8 dan pasal-pasal lain berkenaan dengan pengusulan
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang tidak hanya
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana
diutarakan di atas, maka Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, seyogyanya oleh
Mahkamah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, jika
ditafsirkan menutup jalur pengusulan secara perseorangan atau
independen, di luar jalur pengusulan partai politik atau gabungan
partai politik (conditionally unconstitutional).
Pengesampingan hak-hak dasar warga negara untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan dengan menjadi Calon Presiden dan Wakil
Presiden secara perseorangan atau independen, dengan
pembatasan yang menjadi substansi Pasal 8 dan pasal-pasal
terkait dalam UU 42/2008, tidak dapat dibenarkan karena tidak
memenuhi asas proporsionalitas, yang menuntut keseimbangan
tujuan dengan bobot hak dasar yang dilindungi dan dijamin dalam
UUD 1945;
Akan tetapi seperti halnya pembukaan jalur perseorangan
bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Putusan
Nomor 05/PUU-V/2007, maka seandainyapun Putusan Mahkamah
dalam perkara a quo mengabulkan permohonan Pemohon,
putusan demikian membutuhkan implementasi berupa revisi UU
42/2008 tersebut, sehingga dapat dilakukan pengaturan yang
layak bagi prosedur calon perseorangan atau independen yang
seimbang dan setara dengan syarat bagi calon yang diusulkan
oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sehingga tercapai
42
keadilan secara rasional. Karena alasan yang demikian,
seandainyapun pendapat berbeda ini menjadi putusan Mahkamah,
maka tidak rasional pula untuk memperlakukannya dalam Pemilu
2009, melainkan harus memberi waktu penyesuaian sampai
pemilihan umum berikut pada tahun 2014.
15. HAKIM KONSTITUSI : H.M. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H.
[6.3] Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar
Bahwa Pasal yang diuji adalah Pasal 1 angka 4, Pasal 8,
Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008 terhadap Pasal 6A
ayat (2), Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945 yang menurut Pemohon pasal a quo telah menutup
ruang bagi seseorang warga negara untuk menjadi calon
perseorangan Presiden dan Wakil Presiden;
Bahwa terjadinya perubahan pasal-pasal UUD 1945
dilakukan dalam tenggang waktu yang berbeda, dan dalam kontek
persoalan yang berbeda pula, sehingga perubahan demikian telah
mengakibatkan pemaknaan pasal di dalam UUD 1945 antara
pasal satu sama lain menjadi berbeda, misalnya dalam pemilihan
Presiden diatur Pasal 6A UUD 1945, dan pemilihan Gubernur, dan
Bupati/Walikota diatur Pasal 18 ayat (4) 1945, padahal kedua
pasal tersebut mengatur tentang cara dan prosedur dalam
rekruitmen jabatan publik walaupun dalam level yang berbeda,
namun keduanya juga melakukan proses elektabilitas dimana
dalam pemilihan kepala daerah yang sebelumnya hanya dilakukan
atas usul partai politik kemudian dimungkinkan juga adanya calon
perseorangan. Dalam posisi yang demikianlah menurut saya peran
Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi justru menjadi
penting agar spirit, jiwa dan moralitas konstitusi tetap terjaga
dalam menata bangunan konstitusi yang tidak hanya memaknai
konstitusi dari makna tekstualnya saja tetapi juga harus dibaca
dalam konteks kekinian;
Di dalam UUD 1945 sebelum perubahan bahwa
kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden diserahkan
sepenuhnya kepada MPR [Pasal 6 ayat (2)]. Pemilihan
Presiden/Wakil Presiden demikian, telah 5 kali dipraktikkan dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, sehingga menurut hemat saya
pemilihan Presiden/Wakil Presiden yang dilakukan melalui MPR
sesungguhnya para Calon Presiden/Wakil Presiden tersebut
merupakan calon ”perseorangan”. Setelah perubahan ketiga UUD
1945 (Pasal 6A) pemilihan Presiden dan Wakil dilakukan secara
langsung, sehingga perubahan tersebut telah mengganti sistem
pemilihan Presiden/Wakil Presiden sebagaimana tersebut di atas
menjadi pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung,
dimana dalam mekanisme pengusulan Pasangan Calon
43
memberikan hak monopoli kepada partai politik dan gabungan
partai politik. Dalam perumusan UUD 1945 yang diamandemen
oleh PAH I MPR mengenai calon perseorangan telah menjadi
perdebatan yang intens dengan calon melalui Parpol atau
gabungan Parpol, yaitu ”Selama pembahasan ketentuan Pilpres ini
MPR menghadapi pilihan, untuk cara pemilhan terdapat gagasan
pemilihan langsung oleh rakyat dan pemilihan oleh MPR. Untuk
pencalonan terdapat gagasan pencalonan oleh Parpol/gabungan
Parpol dan gagasan pencalonan calon indenpenden” (Jakob
Tobing, PANCASILA DAN UUD 1945, REFLEKSI ATAS
PENYELANGGARAAN SISTEM PEMERINTAHAN MENURUT UUD
1945 SETELAH PERUBAHAN);
Merujuk pada keterangan di atas, maka menurut saya
bahwa ”Konstitusi harus ditafsirkan secara luas karena konstitusi
itu dimaksudkan untuk diterapkan terhadap kondisi-kondisi dan
keadaan-keadaan yang tidak dapat diduga atau diperkirakan pada
saat konstitusi dirumuskan dan karena makna konstitusi itu tetap
dari waktu ke waktu. (Sir Antony Mason, Interpreting constitution:
Theories principles and constitution);
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum”. Jika ditafsirkan teks pasal tersebut
sudah bersifat eksplisit, kategorikal dan imperatif yang menutup
ruang untuk diartikan lain, sehingga teks yang demikian jika
dilihat normanya merupakan materi muatan suatu Undang-
Undang. Padahal di dalam merumuskan materi muatan konstitusi
terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
”Hanya memasukkan prinsip-prinsip esensial saja, karena dengan
demikian dapat dihindari terbentuknya ketentuan-ketentuan yang
bersifat permanen dan tidak dapat diubah-ubah yang mungkin
akan sulit mengakomodasikan dirinya dengan perkembangan
masa dan kejadian dalam masyatakat; dan menggunakan bahasa
yang sederhana dan akurat”. (Kammen, Michael A. Vehicle of life,
Sep. 1987);
Demikian juga Pasal 6A UUD 1945 adalah pasal yang
mengatur mengenai cara dan prosedur untuk menjadi Presiden
dan Wakil Presiden yang tidak dapat mendiskriminasikan
seseorang warga negara untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil
Presiden, oleh karena prinsip tersebut telah melanggar hak setiap
warga negara yang mempunyai kedudukan, hak, dan kesempatan
yang sama di dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD
1945. Dengan demikian setiap warga negara yang memenuhi
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 harus mendapat kesempatan yang
44
sama untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, baik melalui
partai politik maupun calon perseorangan;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat
bahwa Pasal 1 angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang dimohonkan pengujian adalah
conditionally constitutional atau konstitusional bersyarat yaitu
dengan mempertimbangkan agenda nasional pelaksanaan Pilpres
tahun 2009 yang sudah sangat dekat, maka pemberian ruang bagi
Calon Presiden perseorangan harus diakomodir dalam UU 42/2008
dan dilaksanakan pada Pilpres tahun 2014.
16. KETUA : Prof. Dr. MAHFUD MD, S.H.
Setelah pembacaan Putusan ini maka sidang-sidang untuk Perkara
Nomor 56/PUU-VI/2008 dinyatakan selesai dan ditutup.
SIDANG DITUTUP PUKUL 12.05 WIB
KETUK PALU 3X