1. Partai dan Pelembagaan
Demokrasi
Partai
politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam
setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat
strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak
yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi,
seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan
pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization)
dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider
dikatakan pula, “Modern democracy is
unthinkable save in terms of the parties”.
Namun
demikian, banyak juga pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai
politik. Yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu
sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa
atau berniat memuaskan ‘nafsu birahi’ kekuasaannya sendiri. Partai politik
hanya lah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung
yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan
berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu ‘at the expense of the general will’ (Rousseau, 1762) atau
kepentingan umum (Perot, 1992).
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan
dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling
mengendalikan dalam hubungan “checks and
balances”. Akan tetapi jika lembaga-lembaga negara tersebut tidak berfungsi
dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan
fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik
yang rakus atau ekstrim lah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala
proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh
karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem
ketatanegaraan berdasarkan prinsip “checks
and balances” dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya
fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip “checks and balances” berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan
kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu
negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan
kultur berpikir bebas dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau
kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya
prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan
masyarakat demokratis yang bersangkutan.
Tentu
saja, partai politik adalah merupakan salah satu saja dari bentuk pelembagaan
sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas
dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya
terjelma juga dalam wujud kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun
kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non-partai politik seperti
lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas),
organisasi non pemerintah (NGO’s), dan lain
sebagainya.
Namun, dalam hubungannya dengan kegiatan
bernegara, peranan partai politik sebagai media dan wahana tentulah sangat
menonjol. Di samping faktor-faktor yang lain seperti pers yang bebas dan
peranan kelas menengah yang tercerahkan, dan sebagainya, peranan partai politik
dapat dikatakan sangat menentukan dalam dinamika kegiatan bernegara. Pertai
politik betapapun juga sangat berperan dalam proses dinamis perjuangan nilai
dan kepentingan (values and interests)
dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam konteks
kegiatan bernegara.
Partai politik lah yang bertindak
sebagai perantara dalam proses-proses pengambulan keputusan bernegara, yang
menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan.
Menurut Robert Michels dalam bukunya, “Political Parties, A Sociological Study
of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy”, “... organisasi ... merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik
untuk membentuk kemauan kolektif”[1].
Kesempatan untuk berhasil dalam setiap
perjuangan kepentingan sangat banyak tergantung kepada tingkat kebersamaan
dalam organisasi. Tingkat kebersamaan itu terorganisasikan secara tertib dan
teratur dalam pelaksanaan perjuangan bersama di antara orang-orang yang
mempunyai kepentingan yang sama yang menjadi anggota organisasi yang
bersangkutan.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa
berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak dan hakiki bagi setiap perjuangan
politik. Dengan begitu, harus diakui pula bahwa peranan organisasi partai
sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya
organisasi, perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam menghadapi
pihak lawan atau saingan, karena kekuatan-kekuatan yang kecil dan
terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam satu front.
Proses
pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan
organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem
demokrasi itu sendiri. Karena itu, menurut Yves Meny and Andrew Knapp[2], “A democratic system without political
parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”.
Suatu sistem politik dengan hanya 1 (satu) partai politik, sulit sekali
dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama
sekali.
Tingkat
atau derajat pelembagaan partai politik itu sendiri dalam sistem demokrasi,
menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, tergantung kepada 3 (tiga) parameter, yaitu
(i) “its age”, (ii) “the depersonalization of organization”,
dan (iii) “organizational differentiation”.[3] Setiap
organisasi yang normal tumbuh dan berkembang secara alamiah menurut tahapan
waktunya sendiri. Karena itu, makin tua usianya, ide-ide dan nilai-nilai yang
dianut di dalam organisasi tersebut semakin terlembagakan (institutionalized) menjadi tradisi dalam organisasi.
Organisasi yang berkembang makin
melembaga cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”.
Orang dalam maupun orang laur sama-sama menyadari dan memperlakukan organisasi
yang bersangkutan sebagai institusi, dan tidak dicampur-adukkannya dengan
persoalan personal atau pribadi para individu yang kebetulan menjadi
pengurusnya. Banyak organisasi, meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi tidak
terbangun suatu tradisi dimana urusan-urusan pribadi pengurusnya sama sekali
terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian. Dalam hal demikian, berarti
derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai institusi, masih belum kuat,
atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai organisasi yang kuat.
Jika hal ini dihubungkan dengan
kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyak sekali organisasi kemasyarakatan
yang kepengurusannya masih sangat “personalized”. Organisasi-organisasi besar di bidang
keagamaan, seperti Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain dengan derajat
yang berbeda-beda, masih menunjukkan gejala personalisasi yang kuat atau malah
sangat kuat. Organisasi-organisasi di bidang kepemudaan, di bidang sosial, dan
bahkan di bidang pendidikan, banyak sekali yang masih ‘personalized’, meskipun derajatnya berbeda-beda. Bahkan, saking
bersifat ‘personalized’nya organisasi
yang dimaksud, banyak pula di antaranya yang segera bubar tidak lama setelah
ketuanya meninggal dunia.
Gejala
“personalisasi” juga terlihat tatkala
suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi atau pergantian
kepemimpinan. Dikatakan oleh Monica dan Jean Charlot,[4]
“Until a party (or any
association) has surmounted the crisis of finding a successor to its founder,
until it has drawn up rules of succession that are legitimate in the eyes of
its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”.
Selama
suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis dalam pergantian kepemimpinannya,
dan belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang dapat diakui dan dipercaya
oleh anggotanya, maka selama itu pula pelembagaan organisasi tersebut masih
bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat. Apalagi jika pergantian itu
berkenaan dengan pemimpin yang merupakan pendiri yang berjasa bagi organisasi
bersangkutan, seringkali timbul kesulitan untuk melakukan pergantian yang
tertib dan damai. Namun, derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan
tergantung kepada bagaimana persoalan pergantian itu dapat dilakukan secara “impersonal” dan “depersoanlized”.
Jika
kita menggunakan parameter “personalisasi”
ini untuk menilai organisasi kemaysrakatan dan partai-partai politik di tanah
air kita dewasa ini, tentu banyak sekali organisasi yang dengan derajat yang
berbeda-beda dapat dikatakan belum semuanya melembaga secara “depersonalized”. Perhatikanlah bagaimana
partai-partai seperti Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Amanat Nasional
(PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan
sebagainya. Ada yang diiringi oleh perpecahan, ada pula yang belum sama sekali
berhasil mengadakan forum Kongres, Musyawarah Nasional atau Muktamar.
Di
samping kedua parameter di atas, derajat pelembagaan organisasi juga dapat
dilihat dari segi “organizational
differentiation”. Yang perlu dilihat adalah seberapa jauh organisasi
kemasyarakatan ataupun partai politik yang bersangkutan berhasil
mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk membolisasi dukungan
konstituennya. Dalam sistem demokrasi dengan banyak partai politik, aneka ragam
aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat
memerlukan penyalurannya yang tepat melalui pelembagaan partai politik. Semakin
besar dukungan yang dapat dimobilisasikan oleh dan disalurkan aspirasinya
melalui suatu partai politik, semakin besar pula potensi partai politik itu
untuk disebut telah terlembagakan secara tepat.
Untuk
menjamin kemampuannya memobilisasi dan menyalurkan aspirasi konstituen itu,
struktur organisasi partai politik yang bersangkutan haruslah disusun
sedemikian rupa, sehingga ragam kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung
dan diakomodasikan seluas mungkin. Karena itu, struktur internal partai politik
penting untuk disusun secara tepat. Di satu pihak ia harus sesuai dengan
kebutuhan untuk mobilisasi dukungan dan penyaluran aspirasi konstituen. Di
pihak lain, struktur organisasi partai politik juga harus disesuaikan dengan
format organisasi pemerintahan yang diidealkan menurut visi partai politik yang
dimintakan kepada konstituen untuk memberikan dukungan mereka. Semakin cocok
struktur internal organisasi partai itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula
derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan.
2. Fungsi Partai Politik
Pada
umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi
partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo,
meliputi sarana[5]:
(i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv)
pengatur konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp[6], fungsi
partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana
pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekruitmen politik; dan (iv) sarana
elaborasi pilihan-pilihan kebijakan;
Keempat
fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana
komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya
mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau “political interests” yang terdapat atau
kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu
diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi dan
kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan
kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan
mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi.
Terkait dengan komunikasi politik itu,
partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik (political socialization). Ide, visi dan
kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada
konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa
dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai
juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang
menjadi struktur-antara atau ‘intermediate
structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan
dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara.
Misalnya, dalam rangka keperluan
memasyarakatkan kesadaran negara berkonstitusi, partai dapat memainkan peran
yang penting. Tentu, pentingnya peran partai politik dalam hal ini, tidak boleh
diartikan bahwa hanya partai politik saja yang mempunyai tanggungjawab
eksklusif untuk memasyarakatkan UUD. Semua kalangan, dan bahkan para pemimpin
politik yang duduk di dalam jabatan-jabatan publik, khususnya pimpinan
pemerintahan eksekutif mempunyai tanggungjawab yang sama untuk itu. Yang hendak
ditekankan disini adalah bahwa peranan partai politik dalam rangka pendidikan
politik dan sosialisasi politik itu sangat lah besar.
Fungsi ketiga partai politik adalah
sarana rekruitmen politik (political
recruitment). Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan
yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan
posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh
rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya.
Tentu tidak semua jabatan yang dapat
diisi oleh peranan partai politik sebagai sarana rekruitmen politik.
Jabatan-jabatan profesional di bidang-bidang kepegawai-negerian, dan lain-lain
yang tidak bersifat politik (poticial
appointment), tidak boleh melibatkan peran partai politik. Partai hanya
boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik dan karena
itu memerlukan pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik pula (political appointment).
Untuk menghindarkan terjadinya
percampuradukan, perlu dimengerti benar perbedaan antara jabatan-jabatan yang
bersifat politik itu dengan jabatan-jabatan yang bersifat teknis-administratif
dan profesional. Di lingkungan kementerian, hanya ada 1 jabatan saja yang
bersifat politik, yaitu Menteri. Sedangkan para pembantu Menteri di lingkungan
instansi yang dipimpinnya adalah pegawai negeri sipil yang tunduk kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kepegawaian.
Jabatan
dibedakan antara jabatan negara dan jabatan pegawai negeri. Yang menduduki
jabatan negara disebut sebagai pejabat negara. Seharusnya, supaya sederhana, yang
menduduki jabatan pegawai negeri disebut pejabat negeri. Dalam jabatan negeri
atau jabatan pegawai negeri, khususnya pegawai negeri sipil, dikenal adanya dua
jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Jenjang jabatan itu masing-masing telah
ditentukan dengan sangat jelas hirarkinya dalam rangka penjenjangan karir.
Misalnya, jenjang jabatan struktural tersusun dalam mulai dari eselon 5, 4, 3,
2, sampai ke eselon 1. Untuk jabatan fungsional, jenjang jabatannya ditentukan
berdasarkan sifat pekerjaan di masing-masing unit kerja. Misalnya, untuk dosen
di perguruan tinggi yang paling tinggi adalah guru besar. Jenjang di bawahnya
adalah guru besar madya, lektor kepala, lektor kepala madya, lektor, lektor
madya, lektor muda, dan asisten ahli, asisten ahli madya, asisten. Di
bidang-bidang lain, baik jenjang maupun nomenklatur yang dipakai berbeda-beda
tergantung bidang pekerjaannya.
Untuk
pengisian jabatan atau rekruitmen pejabat negara/kenegaraan, baik langsung
ataupun tidak langsung, partai politik dapat berperan. Dalam hal ini lah,
fungsi partai politik dalam rangka rekruitmen politik (political recruitment) dianggap penting. Sedangkan untuk pengisian
jabatan negeri seperti tersebut di atas, partai sudah seharusnya dilarang untuk
terlibat dan melibatkan diri.
Fungsi keempat adalah pengatur dan
pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat (conflict management). Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan
masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan
bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan
yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai
politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang
berbeda-beda satu sama lain.
Dengan perkataan lain, sebagai pengatur
atau pengelola konflik (conflict
management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang
menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan
politik partai. Karena itu, dalam kategori Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi
pengeloa konflik dapat dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai
mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara
menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan
politik kenegaraan.
3. Kelemahan Partai
Politik
Adanya
organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa kelemahan. Di
antaranya ialah bahwa organisasi partai cenderung bersifat oligarkis.
Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak
dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam
kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.
Seperti dikemukakan oleh Robert Michels sebagai suatu hukum besi yang berlaku
dalam organisasi bahwa[7],
“Organisasilah yang melahirkan
dominasi si terpilih atas para pemilihnya, antara si mandataris dengan si
pemberi mandat dan antara si penerima kekuasaan dengan sang pemberi. Siapa saja
yang berbicara tentang organisasi, maka sebenarnya ia berbicara tentang
oligarki”.
Untuk
mengatasi berbagai potensi buruk partai politik seperti dikemukakan di atas,
diperlukan beberapa mekanisme penunjang. Pertama,
mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota
partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan
mengenai hal ini sangat penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar
(constitution of the party) dan
anggaran rumah tangga partai politik bersangkutan yang ditradisikan dalam
rangka “rule of law”.
Di
samping anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan,
perlu diperkenalkan pula sistem kode etika positif yang dituangkan sebagai “Code of Ethics” yang dijamin tegaknya
melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di dalam dinamika
internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus, yaitu “Code of Law” yang tertuang dalam
anggaran dasar (constitution of the
political party), “Code of Conduct”
(code of organizational good conducts)
yang tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan “Code of Ethics” dalam dokumen yang tersendiri. Dengan demikian,
norma hukum, norma moral, dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif
membangun kultur internal setiap partai politik. Aturan-aturan yang dituangkan
di atas kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktek, sehingga prinsip ‘rule of law’, dan ‘rule of ethics’ dapat sungguh-sungguh diwujudkan, mulai dari
kalangan internal partai-partai politik sebagai sumber kader kepemimpinan
negara.
Di dalam ketiga kode normatif tersebut
tersedia berbagai prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan anggota,
pengaturan mengenai lembaga-lembaga internal, mekanisme hubungan
lembaga-lembaga, serta mekanisme penyelesaian konflik yang elegan dan dapat
dijadikan pegangan bersama. Dengan begitu setiap perbedaan pendapat dapat
disalurkan secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada
perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab (uncivilised conflict).
Kedua, mekanisme keterbukaan partai melalui
mana warga masyarakat di luar partai dapat ikut-serta berpartisipasi dalam
penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik.
Partai politik harus dijadikan dan menjadi sarana perjuangan rakyat dalam turut
menentukan bekerjanya sistem kenegaraan sesuai aspirasi mereka. Karena itu,
pengurus hendaklah berfungsi sebagai pelayan aspirasi dan kepentingan bagi
konstituennya. Untuk
itu, diperlukan perubahan
paradigma dalam cara memahami partai dan
kegiatan berpartai. Menjadi pengurus bukan lah segala-galanya. Yang lebih
penting adalah menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, jika menjadi status sebagai
menjadi faktor penentu terpilih tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat, maka
setiap orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan pimpinan
puncak partai politik.
Akibatnya, menjadi pengurus dianggap
keharusan, dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat. Dua-duanya dirangkap
sekaligus, dan untuk seterusnya partai politik hanya akan berfungsi sebagai
kendaraan bagi individu para pengurusnya untuk terus mempertahankan posisi
sebagai wakil rakyat atau untuk meraih jabatan-jabatan publik lainnya. Kepengurusan
partai politik di masa depan memang sebaiknya diarahkan untuk menjadi pengelola
yang profesional yang terpisah dan dipisahkan dari para calon wakil rakyat.
Mungkin ada baiknya untuk dipikirkan bahwa kepengurusan partai politik dibagi
ke dalam 3 (tiga) komponen, yaitu (i) komponen kader wakil rakyat, (ii)
komponen kader pejabat eksekutif, dan (iii) komponen pengelola profesional.
Ketiganya diatur dalam struktur yang terpisah, dan tidak boleh ada rangkap
jabatan dan pilihan jalur. Pola rekruitmen dan promosi diharuskan mengikuti
jalur yang sudah ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut.
Jika seseorang berminat menjadi anggota
DPRD, atau DPR, maka ia diberi kesempatan sejak awal untuk menjadi anggota
Dewan Perwakilan Partai atau yang dapat disebut dengan nama lain, yang
disediakan tersendiri strukturnya dalam kepengurusan Partai. Sedangkan kader
yang berminat duduk di lembaga eksekutif tidak duduk di Dewan Perwakilan,
melainkan duduk dalam Dewan Kabinet atau yang disebut dengan nama lain. Di luar
kedua struktur itu, adalah struktur kepengurusan biasa yang dijabat oleh para
profesional yang digaji oleh partai dan tidak dimaksudkan untuk direkruit
menjadi wakil rakyat ataupun untuk dipromosikan menduduki jabatan di lingkungan
pemerintahan.
Ketiga kelompok pengurus tersebut
hendaknya jangan dicampur aduk atau terlalu mudah berpindah-pindah posisi dan
jalur. Kalaupun ada orang yang ingin pindah jalur karena alasan yang rasional,
maka hal itu dapat saja dimungkinkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu,
sehingga tidak justru menjadi ‘stimulus’
bagi kaum ‘oportunis’ yang akan
merusak rasionalitas kultur demokrasi dan ‘rule
of law’ di dalam partai. Untuk mendorong agar mekanisme kepengurusan dan
pengelolaan partai menjadi makin baik, pengaturannya perlu dituangkan dalam
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainya. Hal itu tidak cukup
hanya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang
bersangkutan.
Mekanisme pertama dan kedua tersebut di
atas, berkaitan dengan aspek internal organisasi partai politik. Di samping
itu, diperlukan pula dukungan iklim eksternal yang tercermin dalam, yaitu: Ketiga, penyelenggaraan negara yang
baik dengan makin meningkatnya kualitas pelayanan publik (public services),
serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan
penyelenggaraan negara. Dengan adanya pelayanan umum yang baik disertai
keterbukaan dan akuntalitas pemerintahan dan penyelenggara negara lainnya,
iklim politik dengan sendirinya akan tumbuh sehat dan juga akan menjadi lahan subur
bagi partai politik untuk berkembang secara sehat pula.
Keempat, berkembangnya pers bebas yang semakin
profesional dan mendidik. Media pers adalah saluran komunikasi massa yang
menjangkau sasaran yang sangat luas. Peranannya dalam demokrasi sangat menentukan.
Karena itu, pers dianggap sebagai “the
fourth estate of democracy”, atau untuk melengkapi istilah “trias politica” dari Montesquieu,
disebut juga dengan istilah “quadru
politica”.
Kelima, kuatnya jaminan kebebasan berpikir (freedom of thought), dan berekspresi (freedom of expression), serta kebebasan
untuk berkumpul dan beorganisasi secara damai (freedom of peaceful assembly and association). Pada intinya
kebebasan dalam peri kehidupan bersama umat manusia itu adalah bermula dari
kebebasan berpikir (freedom of thought).
Dari kebebasan berpikir itu lah selanjutnya berkembang prinsip-prinsip “freedom of belief”, “freedom of expression”,
“freedom of assembly”, “freedom of association”, “feedom of the press”, dan
sebagainya dan seterusnya. Oleh sebab itu, iklim atau kondisi yang sangat
diperlukan bagi dinamika pertumbuhan dan perkembangan partai politik di suatu
negara, adalah iklim kebebasan berpikir. Artinya, partai politik yang baik
memerlukan lahan sosial untuk tumbuh, yaitu adanya kemerdekaan berpikir di
antara sesama warga negara yang akan menyalurkan aspirasi politiknya melalui
salah satu saluran yang utama, yaitu partai politik.
Dalam sistem ‘representative democracy’, biasa dimengerti bahwa partisipasi
rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara rakyat untuk
membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap dengan
sendirinya efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan
rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan dan peranan partai
politik dianggap sangat dominan[8].
4. Partai Politik
Indonesia Pasca Reformasi
Pada periode awal kemerdekaan, partai
politik dibentuk dengan derajat kebebasan yang luas bagi setiap warga negara
untuk membentuk dan mendirikan partai politik. Bahkan, banyak juga calon-calon
independen yang tampil sendiri sebagai peserta pemilu 1955. Sistem multi partai
terus dipraktikkan sampai awal periode Orde Baru sejak tahun 1966. Padal pemilu
1971, jumlah partai politik masih cukup banyak. Tetapi pada pemilu 1977, jumlah
partai politik mulai dibatasi hanya tiga saja. Bahkan secara resmi yang disebut
sebagai partai politik hanya dua saja, yaitu PPP dan PDI. Sedangkan Golkar
tidak disebut sebagai partai politik, melainkan golongan karya saja.
Baru di masa reformasi kebebasan
berpartai kembali dibuka dan tiba-tiba jumlah partai politik meningkat tajam
sesuai dengan tingkat keanekaragaman yang terdapat dalam masyarakat majemuk
Indonesia. Sistem multi partai ini tentu sangat menyulitkan bagi penerapan
sistem pemerintahan presidentil untuk bekerja efektif. Hal itu, terbukti dalam
pemerintahan yang terbentuk di masa reformasi, mulai dari pemerintahan BJ.
Habibie, pemerintahan Abdurrahman Wahid, dan pemerintahan Megawati sampai ke
pemerintahan SBY jiilid 1 maupun jilid 2 dewasa ini. Keperluan mengakomodasikan
kepentingan banyak partai politik untuk menjamin dukungan mayoritas di parlemen
sangat menyulitkan efektifitas pemerintahan, termasuk pemerintahan SBY-Boediono
yang ada sekarang.
Namun demikian, di masa depan, terutama
mulai pemilu 2014 kelak, tentu keadaannya akan berubah semakin baik. Sejalan
dengan tahap-tahap konsolidasi sistem politik yang dilakukan sebagai respons
atas banyaknya pengalaman pahit selama periode sepuluh tahun reformasi,
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan satu kebijakan penting, yaitu pemilihan
umum dengan sistem suara terbanyak sebagai sistem yang dianggap paling sesuai
dengan maksud UUD 1945 mengatur tentang pelaksanaan pemilihan umum.
Implikasi lebih lanjut dari sistem suara
terbanyak itu tentu di masa depan (mulai tahun 2014), peranan individu wakil
rakyat akan berkembang menjadi semakin penting. Sementara itu, peranan partai
politik sebagai organisasi dalam penentuan nomor urut menjadi semakin kurang
penting. Dalam jangka panjang, siapa saja yang berkeinginan menjadi wakil
rakyat haruslah lebih dekat kepada rakyat daripada menghabiskan waktu menjadi
pengurus partai politik yang diharapkan dapat menjamin diperolehnya nomor urut
calon dengan nomor kecil.
Akibat positifnya adalah (i) para wakil
rakyat akan semakin dekat dengan rakyat dan karena itu akan lebih menjamin
keterwakilan aspirasi rakyat di lembaga perwakilan rakyat, dan (ii)
kepengurusan partai politik akan berkembang menjadi semakin profesional.
Menjadi pengurus partai politik tidak lagi menarik. Yang justru lebih penting
adalah bagaimana membuat diri anda dikenal oleh para calon pemilih sehingga
pada saat pemilu nanti, anda dapat memperoleh kemungkinan yang lebih besar
untuk terpilih. Akibat lebih lanjut adalah bahwa partai politik akan lebih
terurus dan diurus oleh pengurusnya, bukan saja pada saat menjelang pemilu
tetapi sepanjang lima tahun masa kerja pengurus itu harus aktif menjadikan
partai politik dekat kepada rakyat. Dengan demikian, pelembagaan partai politik
dalam sistem demokrasi kita di masa depan dapat diharapkan berkembang semakin
kuat, dan dengan begitu masa depan demokrasi kita dapat diharapkan menjadi
semakin tumbuh sehat.
Demikianlah beberapa sumbang saran saya
kepada pengurus Partai Amanat Nasional. Jika kecenderungan di masa depan dapat
diantisipasi dengan benar dan tepat, tentu Partai Amanah Nasional akan tumbuh
dan berkembang dengan sehat. Potensi partai ini untuk berkembang terbuka lebar.
Di tengah keruntuhan partai-partai lain dalam menghadapi persaingan dengan partai
SBY, penurunan kursi PAN dapat dikatakan sangat tipis, bahkan dapat dikatakan
tidak signifikan. Artinya, kinerja PAN dalam pemilu 2009 yang lalu cukup baik.
Karena itu, kekuatan yang ada sekarang dapat semakin ditingkatkan di masa-masa
mendatang, terutama dalam menghadapi pemilu 2014. Akan tetapi, jika
kecenderungan di masa depan tidak diantisipasi secara tepat oleh Pengurus
Partai Amanat Nasional, tentulah hal itu akan berpengaruh pula terhadap
eksistensi partai reformasi ini di masa depan.
[1] Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam
Birokrasi, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984, hal.23.
[2] Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in
Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford
University Press, 1998, hal. 86.
[3] Ibid. hal. 7.
[4] Monica and Jean Charlot, ‘Les Groupes Politiques dans
leur Environement’ in J. Leca and M. Grawitz (eds.), Traite de Science
Politique, iii (Paris: PUF, 1985), 437; dalam Ibid., hal. 89.
[5]Miriam Budiardjo,
Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta ,
2000, hal. 163-164.
[6] [6] Yves
Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain,
France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press, 1998.
[8] Lihat Dawn Oliver, Constitutional Reform in the UK,
Oxford University Press, 2003, hal. 35.