Selasa, 26 Juni 2012

TEORI HUKUM Lawrance Meir Friedman


Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum,Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum Ilegal Loging.
Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Ketiga: Budaya Hukum: Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum  maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.

TEORI THE ULTIMATE RULE of RECOGNITION


The Ultimate Rule of Recognition adalah sebuah teori tentang sistem hukum yang dicetuskan oleh R.A. Hart. Menurut R.A. Hart sistem hukum harus berlandaskan pada norma pengenal terakhir (the ultimate rule of recognition), dimana norma ini menjadi dasar berlakunya norma lainnya. Norma pengenal terakhir ini didapat dengan bertanya terus menerus mengenai berlakunya suatu peraturan, dan jawaban yang didapat dipergunakan sebagai sistem hukum yang terakhir. Menurut R.A. Hart norma pengenal terakhir ini bentuknya konkrit. Contoh norma pengenal terakhir yang kongkrit adalah Al-Qur’an.

TEORI HUKUM MURNI Hans Kelsen

Pure Theory of Law. Kelsen memulai kariernya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

TEORI Friedrich Karl von Savigny

“Law is and expression of the common consciousness or spirit of people”.
Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kalau sudah begitu menurut von Savigny (volkgeist), hukum itu lahir dari jiwa masyarakat yang mengakomodasi masyarakat.
Jadi, disini undang-undang itu berasal dari masyarakat dan sebagai perwakilannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengajukan undang-undang tersebut. Disebut juga bottom up atau dari bawah ke atas. Bagian bawah rakyat dengan DPR sebagai perwakilannya ke Pemerintah sebagai penyelenggara negara

TEORI STUFENBAU


Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).
Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak)
Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila

TEORI HUKUM PEMBANGUNAN Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.

“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun,yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.”

TEORI ROSCOE POUND


“Law is a tool of a social engineering”. Dalam perspektif politik hukum, menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi dari pemerintah.

ZONASI PENGUKURAN LAUT DALAM UNCLOS


Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut(United  Nations Convention on the Law of the Sea)
Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian. 

Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi danaksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Prinsip-Prinsip Pengukuran Laut
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1). 

Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).

Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umatmanusia.

Sejarah Rezim-rezim Hukum Laut.
Pada abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara- negara tersebut yaitu adalah Negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu antara Spanyol dan Portugis.
• Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.
• Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara.
• Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 danUNCLOS 2. Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah:

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) a. Kebebasan pelayaran, b. Kebebasan menangkap ikan, c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)
4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah disetujui. Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:
·     Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
·         Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, danRepublik Malagasi.

Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan LigaBangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III.

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi Negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah:
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.

Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yang selanjutnya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
 
Dasar Hukum Laut Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Namun ketetapan batas tersebut,yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.

Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.

Pada konferensi Hukul Laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil mendapatkan pengakuan Internasional. Namun baru pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia internasional.Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun mengisyaratkan kepada Bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan pilihan yang tepat dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982, yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan (Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta Km2.Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu:
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan danlaut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada dizona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia

Selasa, 05 Juni 2012

Meneguhkan Kembali Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Antar-Beragama


Oleh: Siti Yuliandari Lalisu
Upacara dan pidato kenegaran setiap tanggal 1 Juni, beberapa tahun terakhir ini, semakin giat dilaksanakan. Pada tanggal 1 Juni 2012 kali ini, Wakil Presiden Boediono menyampaikan pidato di hadapan anggota Parlemen, pimpinan tinggi negara, dan sejumlah tokoh negara, di Gedung MPR, Jakarta.
Pada peringatan hari lahirnya Pancasila tahun lalu (tepatnya 1 Juni 2011), pidato kenegaraan disampaikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kali ini beliau tidak sempat hadir, karena tengah melakukan kunjungan ke luar negeri, yakni Thailand dan Singapura pada 31 Mei-2 Juni 2012. Di Thailand, Presiden menghadiri World Economic Forum, sementara di Singapura hadir pada acara Shangrila Dialog.
Karena masih dalam suasana memperingati dan mengenang hari lahirnya ideologi bangsa tersebut, pada tulisan kali ini, penulis ingin sedikit urun rembug tentang perenungan kembali nilai-nilai Pancasila dalam upaya meneguhkan kembali kehidupan antar-umatberagama di negara kita. Penulis menggunakan penggalan kalimat “meneguhkan kembali”, sekadar mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila yang sejak dulu teraplikasi dengan baik, kini mengalami degradasi atau kemunduran, khususnya dalam jalinan hubungan antar-umat beragama itu sendiri.
Kekerasan dan Keraguan Negara
Kita mengetahui bahwasanya ciri khas daripada masyarakat indonesia ialah “heterogen” atau “majemuk”. Dari kemajemukan inilah tidak tertutup kemungkinan muncul sifat egoisme antar suku, daerah, bahkan bisa pula soal agama. Kalau sudah muncul karakter demikian, maka masyarakat tersebut, tak ada ubahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes yakni homo homini lupus. Mereka selalu berebut dan bertengkar untuk kepentingan masing-masing.
Manifestasi dari teori Thomas Hobbes di atas, pada dewasa ini terlihat dari adanya kekerasan terhadap keyakinan atau agama. Yakni ketika sebuah kelompok umat beragama dipandang sebagai penganut “aliran sesat”, maka kelompok itu dijadikan obyek kekerasan. Serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di Banten dan Bogor serta perusakan dan pembakaran sejumlah gereja di Temanggung, beberapa waktu lalu, merepresentasikan dengan sangat gamblang betapa kompleks dan ruwetnya persoalan kebebasan beragama di republik ini.
Padahal, sebagai negara hukum, realitas sebagaimana yang digambarkan tadi, telah dikontrol bahkan telah dipasung oleh konstitusi kita. Dalam Pasal 29 Ayat (1) dinyatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat ini menjadi peneguh identitas negara Indonesia yang bukan negara sekuler, bukan pula negara yang didirikan diatas agama tertentu. Pasal ini, dipertajam lagi oleh Ayat (2) yang menegaskan: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Melihat pranata hukum di atas, eksistensi kebebasan beragama mestinya harus dijunjung tinggi, dikawal dan dilindungi oleh negara. Artinya, menjadi tidak relevan ketika ada sekelompok individu yang coba memberikan tafsiran lain di luar ketentuan teks hukum tersebut. Namun sayang, formulasi indah di atas kertas itu ternyata tak seindah di lapangan. Negara sering kali mempertontonkan paradoks dan dualisme yang justru menganulir kebijakannya sendiri. Di satu sisi pranata hukum tertinggi menjamin kebebasan beragama, tetapi peraturan-peraturan di bawahnya malah membatasi kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan akan menindak tegas para pelaku kekerasan agama, tetapi di sisi lain kekerasan dibiarkan terjadi. Sungguh sebuah kebijakan yang sulit dimengerti.
Pancasila dan Agama
Menarik tulisan dari KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PBNU (di harian Republika pada tanggal 30 Mei 2011). Beliau menyatakan: Secara fikih, Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih al-ashlu fil assya' al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, yakni sesuatu itu tidak dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama berhasil memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang berkarakter religius, namun bukan negara agama. Dan, ajaran Islam telah merasuk ke dalam Pancasila. Selanjutnya beliau menulis: Ini berdasarkan rujukan kitab I'anah al-Thalibin tentang jihad sebagai "daf'u dlarar ma'shumin musliman kana aw ghaira muslim" (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).
Dengan memahami konsep agama tentang Pancasila (sebagaimana yang contohkan di atas tadi), tentu sebagai seorang yang beragama, dapat memahami nilai-nilai Pancasila sekaligus mengaplikasikannya, khusus dalam kehidupan antar-umat beragama atau antar-umat berkeyakinan.
Kehadiran sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang digagas oleh Founding Fathers tersebut, bukan semata-mata menjamin toleransi dan kebebasan beragama. Kalau sekadar toleransi dan kebebasan beragama, sila kedua hingga kelima sudah menjamin. Keunikan sila pertama, sebagaimana yang ditulis oleh Benyamin Intan (Koran Sindo, tanggal 1 Juni 2011), yaitu menjalankan fungsi publik agama atau dalam istilah Soekarno mengedepankan “kepentingan (kemasyarakatan) agama”. Singkatnya, menurut penulis tersebut, konsep kebebasan beragama Pancasila, meminjam istilah David Hollenbach, bukan hanya negative immunity (bebas dari cengkeraman kekuasaan politik), tapi juga positive immunity (bebas menjalankan peran publik agama).  
Alhasil, melalui peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni tahun ini, janganlah kita mengidolakan Pancasila sebagai harga mati, tapi dalam praktiknya, benar-benar mati harga. Jangan jadikan Pancasila hanya berada dalam pasungan waktu yang menyesakkan, dan merana dalam lakon kehidupan yang kerdil dan sempit. Jangan sampai kita hanya berbicara tentang ”Ketuhanan Yang Maha Esa” ketika dalam berketuhanan terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan kemauannya sendiri atas nama agama tertentu. Bagaimana kita bicara tentang sila-sila yang lain, misalnya, sila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ketika warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan dengan mudahnya dapat menghilangkan nyawa orang lain.
Yang diperlukan sekarang, dan ini sangat mendesak, yaitu upaya revitalisasi, renaisans, dan transformasi atas nilai-nilai yang dirumuskan oleh para founding fathers dalam sila-sila Pancasila itu sendiri. Semoga!