Selasa, 30 Oktober 2012

INDONESIA: Negara Hukum “Phlegmatis”


this is my fifth article..berhasil di publish oleh media massa mercusuar pada hari jum'at,12 oktober 2012
Berbicara mengenai sistem hukum yang mengalami perkembangan di dunia dewasa ini yakni sistem hukum eropa kontinental (civil law system) dan sistem hukum anglo saxon(common law system). Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dan terpatri dalam pasal 1 ayat 3 konstitusi Republik Indonesia, oleh karena itu Indonesia tidak lepas dari salah satu diantara dua sistem hukum yang mengalami perkembangan dewasa ini,  yakni sistem hukum eropa kontinental. Namun ada hal yang berbeda dari sistem hukum yang dianut oleh Indonesia yaitu mix law system mulai dari sistem hukum adat, civil law, serta hukum agama.
Berdasarkan argumentasi di atas, penulis hendak mengkaji secara spesifik terkait dengan alasan mengapa Indonesia menganut civil law system? Inilah pertanyaan dasar yang wajib dikritisi oleh semua elemen masyarakat. Merujuk pertanyaan di atas, dapat ditinjau dari segi historycal yakni Indonesia pernah dijajah oleh bangsa Belanda yang sejak awal menganut civil law system. Setelah terlepas dari cengkraman bangsa Belanda, lantas apakah cengkraman tersebut terlepas secara keseluruhan? rupanya pihak Belanda masih meninggalkan sisa-sisa cengkraman yang termanifestasi dalam bentuk budaya feodal yang masih eksis sampai dewasa ini tanpa menyisipkan referensi yang menjelaskan bagaimana cara membangun negara dengan sistem hukum yang baik dan benar, terlebih hal ini diperkuat oleh sebagian teks proklamasi yaitu “...pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”
Phlegamatisasi Sistem Hukum
Phlegmatis merupakan salah satu karakter yang tertanam dalam pribadi seseorang. Ciri khas dari karakter phlegmatis ialah ketidak teguhan dalam pendirian atau dapat dikatakan sebagai plinplan. Lantas apa hubungannya dengan sistem hukum? Ternyata sistem hukum di Indonesia dewasa ini masih kalang kabut dalam menentukan kiblat sistem hukum antara tetap mempertahankan eksistensi historycal sistem hukum atau menegakkan progresifisasi hukum. Hal inilah yang menyebabkan penyelesaian sengketa hukum di masyarakat tidak dapat terselesaikan dengan baik dan benar.
Memang tidak dapat dielakkan bahwa eksistensi history dianggap urgen karena suatu peristiwa tidak dapat dilepaskan dari “jamahan” history, namun ketika history dianggap tidak lagi dapat menyelesaikan problematika dewasa ini, lantas apakah eksistensi history tersebut masih tetap untuk dipertahankan?
Konsistensi Sistem Hukum
Terkait dengan pertanyaan di atas, maka sebenarnya eksistensi history tidak dapat dipertahankan ketika history dinyatakan tidak mampu lagi dalam menyelesaikan problematika hukum dewasa ini. Hal ini termanifestasi dalam sistem penegakkan hukum indonesia yang menyatakan bahwa dalam proses penegakkan hukum harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan hal ini merupkan konsekuensi logis dari sistem civil law, lantas bagaimana jika penegakkan hukum yangg demikian masih mencederai rasa keadilan masyarakat?bukankah hukum dibuat untuk masyarakat?
Selayaknya bisa disandingkan perbedaan antara sistem civil law dan sistem common law terkait dengan prinsip umum dalam penegakkan hukum. Dalam sistem civil law ketika hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan pertimbangan-pertimbangan harus sesuai dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini kuhpidana dan kuhperdata) hal ini berimplikasi pada putusan hakim yang cenderung menjadi corong undang-undang atau dalam adagium hukum disebut La bonches de Laloi. Sedangkan dalam sistem common law; adanya ‘peranan’ yang diberikan kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis (pola pikir induktif). Dalam sistem ini, diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi dan menganut prinsip judge made precedent sebagai hal utama dari hukum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya indonesia meninggalkan tapak-tapak history yg menurut hemat penulis terindikasi banyak kekurangan, dengan mencoba konsisten mengarah ke kiblat sistem hukum common law selayaknya negara tetangga yakni vietnam yang merubah sistem hukumnya.

Selasa, 02 Oktober 2012

CONTOH SURAT KUASA


Contoh surat kuasa berpekara di pengadilan
SURAT KUASA
Kami PT. ABC berkedudukan di Jln. Carina Sayang No.15 Jakarta Selatan yang diwakili oleh Nurman bertindak selaku Direktur Utama PT. ABC, untuk dan atas nama PT. ABC dengan ini memberi kuasa kepada Kim Sang Bum, SH., Advokat yang beralamat hukum di Jln. Jend. Sudirman No. 5, Jakarta Selatan.
—————————————————–KHUSUS———————————————–
untuk dan atas nama pemberi kuasa mewakili sebagai tergugat dalam perkara No. 129/2010 G. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lawan PT XYZ, mengenai utang-piutang;
untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan Negeri di Jakarta Barat, menghadap instansi-instansi, jawatan-jawatan, hakim-hakim, pembesar-pembesar, pejabat-pejabat, meminta, mengajukan dan menandatangani surat-surat, permohonan-permohonan, memori-memori, kesimpulan-kesimpulan (konklusi-konklusi), meminta pengangkatan sita jaminan, mengajukan atau menolak saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi, dapat mengadakan perdamaian dengan segala syarat-syarat yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa, meminta atau memberikan segala keterangan yang diperlukan, meminta penetapan-penetapan, putusan, meminta dihentikannya eksekusi, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna sehubungan dengan menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa/wakil guna kepentingan tersebut di atas, juga untuk mengajukan permohonan banding dan kasasi.
Kuasa ini berlaku sejak tanggal pemberian kuasa dan berakhir setelah penerima kuasa menyelesaikan kuasa ini.
Demikianlah……….
Demikianlah kuasa ini diberikan untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta,17 agustus 2011
Penerima Kuasa                                                                         Pemberi Kuasa
Materai 6000
jay Park, SH.                                                                                    BoA

CONTOH SURAT DAKWAAN


KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN
“UNTUK KEADILAN”
SURAT DAKWAAN
NO. REG. PERKARA : PDM – 1210/JkSel/08/2011
A. IDENTITAS TERDAKWA :
Nama : GATOT TOPO
Tempat Lahir : Jakarta
Umur/Tl. Lahir : 12 Juni1985
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jln. Tanjung Duren RT 002/018 Tanjung
Duren, Jakarta Barat
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SD
B. PENAHANAN :
a. Ditahan oleh Penyidik dengan jenis penahanan Rutan sejak tanggal 17 Mei 2011 s/d 28 Juli 2011
b. Perpanjangan penahanan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat dengan jenis penahanan Rutan sejak tanggal 28 Juli 2011 s/d 2 agustus 2011
c. Ditahan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan jenis penahanan Rutan sejak tanggal 12 agustus 2011 s/d dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat
C. DAKWAAN :
Bahwa ia terdakwa GATOT TOPO pada hari Minggu tanggal 14 mei 2011 sekiranya pukul 13.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan Mei tahun 2011, bertempat di kantor saksi korban di Jln. S.Parman No.1 Jakarta Barat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk di dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, terhadap korban SHEILA RATNA ( umur empat setengah tahun) yang dilakukan dengan cara:
- Bahwa pada awalnya hari Minggu tanggal 20 Agustus 2010 sekiranya pukul 13.00 WIB pada saat terdakwa GATOT TOPO berada di tempat saudaranya yang bernama YULI dimana terdakwa GATOT melihat SHEILA RATNA ( umur empat setengah tahun) sedang duduk di lantai dan kemudian terdakwa langsung membuka celan korban kesamping dan memasukkan jari telunjuk tangan kiri terdakwa kedalam kemaluan korban sedalam 3centimeter atau dua ruas jari telunjuk, setelah itu korban pun makan dan korban pulang ke rumah orangtuanya.
- Bahwa ketika saksi korban SHEILA buang air kecil korban merasa sakit di  bagian dalam vagina sehingga korban menagis kesakitan, lalu ibu korban menayakan kepada korban, lalu korban menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya dengan mengatakan “ kalau vagina korban dimasukin jari oleh MBAHNYA ANDRA, selanjutnya ibu korban membawa korban ke Rumah Sakit Siloam Jakarta Selatan, hal ini sesuai dengan hasil Visum Et Repertum No. S.01/22/24.X/2010 tanggal 23 Agustus 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr Atut Handayani pada Rumah Sakit Siloan Jakarta Selatan dengan kesimpulan : Pada pemeriksaan korban anak perempuan berumur empat setengah tahun ini ditemukan luka memar pada mulut alat kelamin yang diakibatkan oleh kekerasan tumpul,
- Bahwa selanjutnya perbuatan terdakwa dilaporkan oleh ibu korban ke Polres Jakarta Selatan, guna diadakan pengusutan lebih lanjut.Sebagaimana diatur san diancam pidana dalam pasal 82 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Jakarta, 12 Agustus 2011
JAKSA PENUNTUT UMUM
Jay Park, SH
AJUN JAKSA NIP. 205070086

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA


ASAS-ASAS dalam Hukum Acara Pidana (HAPID)
1. Asas Equality Before The Law
Asas ini merupakan asas yang fundamental. Dalam pelaksanaan KUHAP tidak boleh membedakan perbedaan status, dan sebagainya. Dalam setiap beracara pidana di Indonesia kita harus mempunyai kedudukan yang sama. (Hak-haknya harus diperlakukan sama, misal jika polisi duduk di bangku, maka tersangka juga punya hak yang sama untuk duduk di bangku).
2. Asas Premsumption of Innocent (Asas Praduga tak bersalah) 
Bahwa setiap orang yang ditangkap, dituntut, ditahan dan atau dihadapkan di muka siding wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Adanya penahanan semata-mata untuk mempermudah proses pemeriksaan bukan untuk penghukuman (penahanan tidak sama dengan penghukuman.
3. Asas legalitas
Bahwa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dapat dilakuakan bersarkan perintah tertulis oleh pejabata yang berwenang oleh Undang-undang dan hanya untuk hal yang diatur dalam Undang-undang.
4. Asas ganti kerugian dan rehabilitasi
Asas yang fundamental ini, juga ada dalam asas dalam deklarasi HAM. Dalam setiap pelaksanaan Hapid sejak dari tingkat sampai dengan pemeiksaan di persidangan apabila terjadi kesalahan wajib diberikan ganti rugi dan rehabilitasi. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak boleh terjadi kesewenang-wenangan dalam pemeriksaan aparat penegak hukum.
5. Asas Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Bahwa setiap pemeriksaan harus dilaksanakkkan dalam waktu yang singkat. Adanya asas cepat ini karena pemeriksaan dalam Hapid sangat berhubungan pasa nasib tersangka. Pada tahun 77 terdapat kasus “Sekon dan Karta” yang selama 12 tahun di pemeriksaan sebelum akhirnya dinyatakan tidak terbukti bersalah.
6. Asas Memperoleh Bantuan Hukum
Bahwa sejak dari mulai menjadi tersangka sampai dengan pengadilan, pelaku tindak pidana wajib memperoleh bantuan hukum. Konsekuensinya aparat hukum pertama kali harus menawarkan perlu atau tidak memperoleh bantuan hukum. Dan jika tidak mampu negara harus menyediakan. Jika tidak ditawarkan maka seluruh pemeriksaan batal demi hukum. Fungsi dari pengacara atau bantuan hukum ini adalah untuk menjaga hak-hak tersangka di dalam setiap pemeriksaan.
7. Asas Informasi
Bahwa setiap pemeriksaan di Hapid para pihak (tersangka dan pengacara) wajib diberitahukan dasar hukumnya, serta wajib diberitahukan hak-haknya.
8. Asas bahwa pengadilan terbuka untuk umum (kecuali diatur dalam UU), serta dihadiri oleh terdakwa.
Hal ini supaya pengadilan transparan, bahwa pengadilan itu benar, dan tidak hanya menindas terrdakwa. Terdakwa harus hadir di pengadilan karena yang memberikan jawaban atas tindak pidana yang didakwakan padanya adalah terdakwa, sehingga terdakwa harus hadir.

Kamis, 06 September 2012

UPAYA MENGINTEGRASI HUKUM ISLAM KE DALAM HUKUM NASIONAL

this is my fourth article..telah berhasil dipublish oleh media massa "mercusuar" pada tanggal 6 september 2012


Tidak dapat dielakkan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dan terpatri dalam konstitusi Republik Indonesia yakni UUD 1945 pasal 1 ayat (3). Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa agama islam merupakan agama mayoritas dalam tanah air indonesia.
Dalam suatu tatanan hukum di Indonesia, Indonesia menganut mix law system yang tidak hanya terpatri dalam perundang-undangan saja tetapi memberlakukan pula sistem hukum Islam dimana eksistensinya termanifestasi dalam UUD 1945 yang merupakan hukum dasar. Menilik bunyi pembukaan UUD 1945 alinea ke-IV yakni “ketuhanan yang maha Esa”, secara implisit menyatakan bahwa adanya pengakuan keagamaan, oleh karena agama islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, maka hukum Islam resmi menjadi salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Historical Piagam Jakarta
Piagam jakarta merupakan sebuah dokumen bersejarah yang pernah mempunyai peranan penting bagi pembentukkan NKRI, peranan penting ini berkaitan dengan perumusan pembukaan undang-undang dasar 1945 dengan bunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, namun keberadaan piagam jakarta ini, ditentang oleh segelintir pihak yakni Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo, sehingga redaksi dari pembukaan undang-undang dasar 1945 diganti menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Dengan adanya perubahan pada redaksi pembukaan undang-undang dasar 1945 terkesan mengutip ayat 1 Q.S Al-Ikhlas  “Qulhuwallahu Ahad” yang berarti “Katakanlah bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa” semakin menguatkan eksistensi hukum islam sebagai sistem hukum nasional bahkan menjadi salah satu jalan alternatif dalam penyelesaian problematika hukum dewasa ini.
Urgensi Hukum Islam
Mengutip pendapat Mohammad Natsir yang menyatakan bahwa tujuan agama sebagai institusi yang paling urgen ialah penegakkan syariah. Dengan adanya hal tersebut maka implementasi hukum islam dalam hukum nasional dinilai sangat urgen
Terlebih dewasa ini, sistem hukum indonesia semakin pasang surut dalam melakukan tindakan preventif maupun represif terhadap problematika hukum yang terjadi. Hal ini diakibatkan, adanya “kelonggaran” implementasi hukum islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Nilai-nilai syar’i dalam sistem hukum nasional semakin terabaikan. Langkah strategis yang harus diambil oleh para penegak hukum ialah mereduksi secara intensif hukum islam ke dalam hukum nasional.
Penulis mengambil contoh negara Malaysia, penerapan hukum islam dilakukan oleh pemerintah dalam membuat kebijakan peraturan perundang-undangan, salah satunya ialah memisahkan antara penumpang wanita dan pria dalam penggunaan mobil angkutan umum. Hal ini sebenarnya sangat tepat untuk direduksi oleh pemerintah Indonesia dalam membuat suatu kebijakan peraturan perundang-undangan, guna untuk menekan jumlah kriminalisasi pemerkosaan dalam mobil angkutan umum yang marak terjadi dewasa ini.
Selain implementasi hukum islam dalam peraturan perundang-undangan, implementasi sangsi hukum islam dianggap sangat mampu memberi efek jera pada terpidana seperti terpidana koruptor, melalui pengQiyasan koruptor dapat dihukum layaknya hukuman yang dijatuhkan oleh koruptor yakni potong tangan, hal ini menurut penulis sangat efektif untuk meminimalisir terjadinya tidak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya, sehingga menciptakan negara Indonesia yang kondusif sesuai dengan apa yang selama ini menjadi harapan bangsa Indonesia pada umumnya.

Jumat, 13 Juli 2012

UPAYA MEREVITALISASI KEMBALI OPTIMISME MASYARAKAT OTONOMI DAERAH


this is my third article, telah berhasil dipublish oleh media radar sulteng :D

Otonomi daerah merupakan sebuah manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan serta perubahan penuh ekpektasi yang terjadi pada rezim reformasi, pasalnya otonomi daerah dapat dikatakan formula mengakhiri kekuasaan sentralistik yang terjadi selama tiga dasawarsa yang dianggap sakral pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, dimana segala bentuk kekuasaan semata-mata berada pada tangan pemerintah pusat, dan mengabaikan kesejahteraan daerah-daerah padahal Indonesia merupakan negara yang dijuluki “nusantara”.
 Ketika B.J Habibie diberi mandat untuk menggantikan kedudukan Soeharto sebagai presiden, maka Presiden B.J. Habibie menerbitkan sebuah regulasi yakni UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, hal ini dilakukan guna atas tuntutan implementasi desentralisasi daerah sehingga terjadi adanya harmonisasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya pada bidang keuangan.
Pesismisme Otonomi daerah
Sejak diberlakukannya UU otonomi daerah yang mengakibatkan terbalutnya euforia otonomi daerah, segelintir masyarakat sering membahasnya dalam aspek optimis. Tidak dapat disangkal ketika lahirnya regulasi berkenaan dengan otonomi membawa dampak positif dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri dengan melakukan pembangunan dan pemanfaatan atas hasil daerah masing-masing serta memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Ternyata disamping segelintir masyarakat yang membahas otonomi daerah dari aspek optimis,  terbesit juga dampak pesimis berkaitan dengan penggunaan anggaran daerah yang  jor-joran, dimana terjadi pergeseran praktik korupsi dari pusat ke daerah. Kompleksitas permasalahan yang paling mencolok ialah terkuaknya sebagian kasus-kasus korupsi di birokrat daerah dan anggota legislatif daerah sebagai faktanya ialah terkuaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh bupati buol Amran Batalipu, hal ini merupakan fakta yang menambah keyakinan penulis bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi daerah.
 Seperti yang dikatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, bahwa."Sangat disayangkan, korupsi sekarang tidak lagi terpusat, tetapi ada di mana-mana, di masa Orde Baru korupsi dilakukan setelah kebijakan dan realisasi anggaran berjalan, namun saat ini sejak perundang-undangan atau kebijakan pemerintah dibahas sudah menimbulkan korupsi, dan saat pelaksanaan, tentu bisa dibayangkan, seperti apa dalam realisasinya, tinggal berapa anggaran yang sampai pada sasaran. " terangnyaa saat memberikan ceramah ilmiah dalam acara "Haflah Akhirussanah" di Pondok Pesantren Mlaten, Kecamatan Kauman, Tulungagung, Sabtu (16/6/2012). Terkait dengan argumentasi Mahfud MD di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, otonomi daerah bukan menjadi solusi yang tepat untuk dapat keluar dari cengkraman tindakan para koruptor, justru menjadi sumur bagi koruptor terutama daerah pemekaran.

Upaya Preventif atas Pesimisme Otonomi Daerah
Secara mendasar, telah terjadinya desentralisasi korupsi yakni dengan adanya kekuasaan yang semakin “membengkak” pada elite lokal. Lalu apa saja upaya yang ditempuh guna meminimalisir tejadinya desentralisasi korupsi?  Menurut hemat penulis, adanya upaya awal yang dapat ditempuh dewasa ini yakni upaya preventif atau upaya pencegahan. Upaya ini diimplementasikan dengan cara pembatasan kekuasaan pemerintah daerah dan DPRD, sebagaimana adagium yang dicetuskan oleh Lord Acton yakni “Power Tends to Corrupt, Absolute Power Corrupt Absolutelly” yang artinya "Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan mutlak ialah korup mutlak ".
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya sistem demokrasi perwakilan yang dianut oleh Indonesia dengan adanya pemberian kekuasaan yang berfungsi sebagai public trust, terhadap hal tersebut perlu diimplementasikannya sebuah mekanisme kontrol sosial yang dilakukan oleh rakyat di setiap daerah terhadap setiap aktivitas pejabat daerah masing-masing, pengontrolan yang dimaksud ialah pengotrolan pada proses polik dan administrasi di daerah yang meliputi: pemilihan kepala daerah, pelayanan publik di daerah, serta penyusunan dan pelaksanaan APBD.
Upaya preventif selanjutnya yakni, penetapan gaji dan tunjangan pejabat daerah secara layak. Penulis menyarankan agar badan legislator daerah memberlakukan sebuah kebijakan baru yaitu memberikan kemudahan bagi pejabat dalam pengambilan kredit mobil pribadi sebagai pengganti dari tunjangan mobil dinas yang dianggap menghabiskan anggaran daerah yang semestinya diberlakukan untuk kesejahteraan rakyat daerah. Menurut hemat penulis, upaya pemberlakuan pemberian tunjangan transportasi dengan mobil pribadi tersebut dapat dikenakan pungutan pajak kendaraan tiap tahunnya, dengan adanya pungutan pajak tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah juga sebagai tindakan preventif dalam meminimalisir terjadinya korupsi dalam penggunaan APBD.
Upaya preventif terakhir yakni penguatan sistem peraturan perundang-undangan terkait masalah implementasi sangsi yang konsisten dan tidak pandang bulu dalam menindak, memberantas, dan menghukum terpidana koruptor. Juga perlu adanya penguatan pada bidang revisi dan evaluasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan das sein dan das sollen.
Semoga dengan adanya upaya preventif yang dikemukakan di atas tadi, dapat memenuhi ekspektasi seluruh rakyat di setiap daerah terhadap upaya meminimalisir terjadinya desentralisasi korupsi, sehingga APBD tersebut betul-betul dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat daerah.

Rabu, 04 Juli 2012

URGENSI DEKRIT PRESIDEN

this is my second article, berhasil dipublish media massa "mercusuar"


Sejenak kita merenungkan dekrit presiden Ir Soekarno yang sampai pada dewasa ini masih dapat dikatakan cukup “mempesona” untuk diperbincangkan. Dekrit merupakan peristiwa yang dapat dianggap “sakral” oleh bangsa Indonesia, pasalnya presiden dapat mengeluarkan suatu statement yang dapat merubah mekanisme roda pemerintahan melalui keputusan atau ketetapan kepala negara.  Meninjau dari segi historycal latar belakang mengapa dekrit Presiden Ir Soekarno dikeluarkan pada tanggal 5 juli 1959, hal ini dikarenakan kegagalan badan yang bernama “badan konstituante” untuk mengembalikan kemurnian UUD yang sempat dibuang sebagai pengganti UUDS 1950.
Perlu juga diketahui bahwa atmosfir politik yang terjadi menjelang dekrit Presiden ialah adanya implementasi demokrasi liberal yang berlaku pada sistem pemerintahan. Sistem ini sudah tentu membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai macam konflik muncul dipermukaan, mulai dari konflik antar kelompok, konflik antar ideologi hingga konflik antar partai politik. Jadi sekali lagi, dekrit presiden dipandang sebagai sebuah ketetapan luar biasa dari penguasa mengenai persoalan kenegaraan yang menghendaki penyelesaian segera demi kepentingan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.
Belajar dari dekrit Gusdur
Ketika presiden Abdurrahman Wahid atau yang disapa oleh Gus Dur mengeluarkan dekritnya yakni bubarkan parlemen serta bekukan salah satu partai politik yakni partai politik golkar, terjadilah polemik yang mengakibatkan tidak adanya dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia. Di samping tidak mendapat dukungan mayoritas rakyat Indonesia, secara yuridis, dekrit Gus Dur tersebut juga menciptakan problematika tersendiri. Mengapa? (1) sistem pemerintahan Indonesia ialah sistem presidensial dimana salah satu konsekuensi logis yakni presiden tidak dapat membubarkan parlemen sekalipun dalam bentuk maklumat, (2) partai golkar yang hendak dibekukan, sudah nampak jelas melanggar amanat konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 28E hasil amandemen kedua UUD 1945 setahun sebelum keluarnya maklumat Gusdur yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

 Namun argumentasi hukum di atas ditepis oleh Gus Dur dengan mengungkapkan bahwa dekrit itu wajar saja. “Kalau negara dalam bahaya dekrit diperlukan. Misal negara dalam bahaya akan terpecah belah atau disintegrasi maka dekrit perlu dikeluarkan,” ujar mantan ketua NU dalam wawancara yang disiarkan secara langsung oleh TVRI, Jakarta, Jumat (1/6/2001).  Artinya yang dijadikan pelajaran terkait dengan terbitnya dekrit Gus Dur selaku presiden ialah, apa yang menjadi substansi dari dekrit Presiden, jangan sampai Presiden mengeluarkan dekrit yang bertentangan dengan konstitusi dan sistem pemerintah Indonesia.


Urgensitas maklumat
Kembali kepada peristiwa yang terjadi 53 tahun silam, sebagaimana telah dipaparkan awal tulisan di atas. Menarik pernyataan mantan ketua Mahkamah Agung, Wiryono Prodjodikoro dalam suatu wawancara khusus pada 11 Juli 1959. Ia menyatakan, "Tindakan mendekritkan kembali ke UUD 1945 didasarkan pada suatu hakikat hukum tidak tertulis yang dalam bahasa Belanda dinamakan staatsnoodrecht. Ini berarti bahwa dalam hal keadaan ketatanegaraan tertentu, kita terpaksa mengadakan tindakan yang menyimpang dari peraturan yang ada."
 Dengan memahami pernyataan mantan ketua Mahkamah Agung dan setelah melihat dan memperhatikan secara seksama apa yang terjadi pada bangsa ini (yang dimulai dari perkembangan politik yang mengakibatkan kebuntuan politik akibat krisis konstitusional yang berlarut-larut yang mengakibatkan krisis moral, menghalangi upaya hukum disebabkan pertikaian politik kekuasaaan yang tidak mengindahkan norma perundang-undangan, dan sebagainya), maka perlulah direnungkan kembali hakekat dari “Dekrit Presiden” itu sendiri .
Artinya dalam konteks dewasa ini, urgensi “Dekrit”  tersebut, yakni sangat dibutuhkan mental presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara untuk mengeluarkan dekrit demi mengatasi problematika bangsa yang semakin karut marut. Presiden SBY khususnya dapat menggunakan haknya untuk mengeluarkan dekrit yakni memurnikan kembali UUD 1945, serta merestorasi lembaga legislator dan regulator untuk membuat produk hukum yang konsekuen dan konsisten terhadap das sein dan das sollen .
Mayoritas rakyat Indonesia tentu sangat memiliki ekspektasi yang sangat besar atas tindakan kepala pemerintahan yakni SBY bila hal tersebut benar-benar diimplementasikan. Begitu pula semua elemen masyarakat diharapkan mampu mempunyai pandangan yang sama, bahwa dengan pemberlakuan dekrit Presiden dimaksud,itu  merupakan tindakan yang sangat urgen sebagai sarana alternatif dalam penyelesaian krisis bangsa. 

Selasa, 26 Juni 2012

TEORI HUKUM Lawrance Meir Friedman


Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: Substansi Hukum,Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Teori Friedman tersebut dapat kita jadikan patokan dalam mengukur proses penegakan hukum Ilegal Loging.
Pertama: Substansi Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Kedua : Struktur Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas). Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfingsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka.
Teori Lawrence Meir Friedman yang Ketiga: Budaya Hukum: Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Baik substansi hukum, struktur hukum  maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai.

TEORI THE ULTIMATE RULE of RECOGNITION


The Ultimate Rule of Recognition adalah sebuah teori tentang sistem hukum yang dicetuskan oleh R.A. Hart. Menurut R.A. Hart sistem hukum harus berlandaskan pada norma pengenal terakhir (the ultimate rule of recognition), dimana norma ini menjadi dasar berlakunya norma lainnya. Norma pengenal terakhir ini didapat dengan bertanya terus menerus mengenai berlakunya suatu peraturan, dan jawaban yang didapat dipergunakan sebagai sistem hukum yang terakhir. Menurut R.A. Hart norma pengenal terakhir ini bentuknya konkrit. Contoh norma pengenal terakhir yang kongkrit adalah Al-Qur’an.

TEORI HUKUM MURNI Hans Kelsen

Pure Theory of Law. Kelsen memulai kariernya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

TEORI Friedrich Karl von Savigny

“Law is and expression of the common consciousness or spirit of people”.
Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Kalau sudah begitu menurut von Savigny (volkgeist), hukum itu lahir dari jiwa masyarakat yang mengakomodasi masyarakat.
Jadi, disini undang-undang itu berasal dari masyarakat dan sebagai perwakilannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengajukan undang-undang tersebut. Disebut juga bottom up atau dari bawah ke atas. Bagian bawah rakyat dengan DPR sebagai perwakilannya ke Pemerintah sebagai penyelenggara negara

TEORI STUFENBAU


Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).
Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak)
Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila

TEORI HUKUM PEMBANGUNAN Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M.

“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun,yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.”

TEORI ROSCOE POUND


“Law is a tool of a social engineering”. Dalam perspektif politik hukum, menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi dari pemerintah.

ZONASI PENGUKURAN LAUT DALAM UNCLOS


Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut(United  Nations Convention on the Law of the Sea)
Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut. Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk menandatangani perjanjian. 

Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah bergabung dalam Konvensi. Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi danaksesi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara pihak Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional, dan Otorita Dasar laut Internasional (yang terakhir yang didirikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Prinsip-Prinsip Pengukuran Laut
Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 mengatur mengenai beberapa hal, pertama mengenai laut teritorial. Penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial harus sesuai dengan ketentuan garis pangkal lurus, mulut sungai dan teluk atau garis batas yang diakibatkan oleh ketentuan-ketentuan itu dan garis batas yang ditarik sesuai dengan tempat berlabuh di tengah laut. Dan penerapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan, harus dicantumkan dalam peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penetapan garis posisinya (pasal 16 ayat 1). 

Kedua, untuk perairan Zona Ekonomi Eksklusif penarikan garis batas terlihat ZEE dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penetapan batas ekonomi eksklusif antar negar yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) harus dicantumkan pada peta dengan sekala yang memadai untuk menentukan posisinya (Pasal 75 Ayat 1).

Ketiga, untuk landas kontinen. Penarikan garis batas terluar landas kontinen dan penetapan batas yang ditarik harus sesuai dengan ketentuan penentuan batas landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent), harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk penentuan posisinya (pasal 84 ayat 1). Konvensi Hukum Laut Internasional memberikan kesempatan kepada negara pantai untuk melakukan tinjauan terhadap wilayah landas kontinen hingga mencapai 350 mil laut dari garis pangkal. Berdasarkan ketentuan UNCLOS jarak yang diberikan adalah 200 mil laut, maka sesuai ketentuan yang ada di Indonesia berupaya untuk melakukan submission ke PBB mengenai batas landas kontinen Indonesia diluar 200 mil laut, karena secara posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen diluar 200 mil laut. Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) juga melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu,
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur juga pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umatmanusia.

Sejarah Rezim-rezim Hukum Laut.
Pada abad ke 16 dan ke 17, Negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara- negara tersebut yaitu adalah Negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu antara Spanyol dan Portugis.
• Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.
• Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codificationconference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara.
• Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 danUNCLOS 2. Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi Unclos pertama ini adalah:

1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas) a. Kebebasan pelayaran, b. Kebebasan menangkap ikan, c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, d. Kebebasan terbang di atas laut lepas
3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)
4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah disetujui. Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:
·     Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
·         Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, danRepublik Malagasi.

Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:
1. Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan LigaBangsa-Bangsa
2. Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I
3. Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II
4. Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III.

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi Negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna adalah:
• Modernisasi dalam segala bidang kehidupan
• Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat
• Bertambah pesatnya perdagangan dunia
• Bertambah canggihnya komunikasi internasional
• Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.

Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa Negara dalam konvensi-konvensi yang selanjutnya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
 
Dasar Hukum Laut Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Batas wilayah laut Indonesia pada awal kemerdekaan hanya selebar 3 mil laut dari garis pantai (Coastal baseline) setiap pulau, yaitu perairan yang mengelilingi Kepulauan Indonesia bekas wilayah Hindia Belanda (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 dalam Soewito et al 2000). Namun ketetapan batas tersebut,yang merupakan warisan kolonial Belanda, tidak sesuai lagi untuk memenuhi kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia. Atas pertimbangan tersebut, maka lahirlah konsep Nusantara (Archipelago) yang dituangkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957. Isi pokok dari deklarasi tersebut “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia”.

Deklarasi Djuanda dikukuhkan pada tanggal 18 Pebruari 1960 dalam Undang-Undang No. 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Ketetapan wilayah Republik Indonesia yang semula sekitar 2 juta km2 (daratan) berkembang menjadi sekitar 5,1 juta km2 (meliputi daratan dan lautan). Dalam hal ini, ada penambahan luas sebesar sekitar 3,1 juta km2, dengan laut teritorial sekitar 0,3 juta km2 dan perairan laut nusantara sekitar 2,8 juta km2. konsep Nusantara dituangkan dalam Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara melalui ketetapan MPRS No. IV tahun 1973.

Pada konferensi Hukul Laut di Geneva tahun 1958, Indonesia belum berhasil mendapatkan pengakuan Internasional. Namun baru pada Konferensi Hukum Laut pada sidang ke tujuh di Geneva tahun 1978. Konsepsi Wawasan Nusantara mendapat pengakuan dunia internasional.Hasil perjuangan yang berat selama sekitar 21 tahun mengisyaratkan kepada Bangsa Indonesia bahwa visi maritim seharusnya merupakan pilihan yang tepat dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982, yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara, negara-negara kepulauan (Archipelagic states) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil laut diluar wilayahnya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi) terhadap Zona Ekonomi Eksklusif, meskipun baru meratifikasinya. Hal itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No. 17 tanggal 13 Desember 1985 tentang pengesahan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, dikukur dari garis dasar wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, sehingga menjadi sekitar 5,8 juta Km2.Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu:
1. Perairan Pedalaman (Internal waters),
2. Perairan kepulauan (Archiplegic waters) termasuk ke dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional,
3. Laut Teritorial (Teritorial waters),
4. Zona tambahan ( Contingous waters),
5. Zona ekonomi eksklusif (Exclusif economic zone),
6. Landas Kontinen (Continental shelf),
7. Laut lepas (High seas),
8. Kawasan dasar laut internasional (International sea-bed area).

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut. Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan danlaut teritorial; sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak memanfaatkan sumber daya alam yang ada dizona tersebut. Sebaliknya, laut lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun, sedangkan kawasan dasar laut Internasioal dijadikan sebagai bagian warisan umat manusia

Selasa, 05 Juni 2012

Meneguhkan Kembali Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Antar-Beragama


Oleh: Siti Yuliandari Lalisu
Upacara dan pidato kenegaran setiap tanggal 1 Juni, beberapa tahun terakhir ini, semakin giat dilaksanakan. Pada tanggal 1 Juni 2012 kali ini, Wakil Presiden Boediono menyampaikan pidato di hadapan anggota Parlemen, pimpinan tinggi negara, dan sejumlah tokoh negara, di Gedung MPR, Jakarta.
Pada peringatan hari lahirnya Pancasila tahun lalu (tepatnya 1 Juni 2011), pidato kenegaraan disampaikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kali ini beliau tidak sempat hadir, karena tengah melakukan kunjungan ke luar negeri, yakni Thailand dan Singapura pada 31 Mei-2 Juni 2012. Di Thailand, Presiden menghadiri World Economic Forum, sementara di Singapura hadir pada acara Shangrila Dialog.
Karena masih dalam suasana memperingati dan mengenang hari lahirnya ideologi bangsa tersebut, pada tulisan kali ini, penulis ingin sedikit urun rembug tentang perenungan kembali nilai-nilai Pancasila dalam upaya meneguhkan kembali kehidupan antar-umatberagama di negara kita. Penulis menggunakan penggalan kalimat “meneguhkan kembali”, sekadar mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila yang sejak dulu teraplikasi dengan baik, kini mengalami degradasi atau kemunduran, khususnya dalam jalinan hubungan antar-umat beragama itu sendiri.
Kekerasan dan Keraguan Negara
Kita mengetahui bahwasanya ciri khas daripada masyarakat indonesia ialah “heterogen” atau “majemuk”. Dari kemajemukan inilah tidak tertutup kemungkinan muncul sifat egoisme antar suku, daerah, bahkan bisa pula soal agama. Kalau sudah muncul karakter demikian, maka masyarakat tersebut, tak ada ubahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes yakni homo homini lupus. Mereka selalu berebut dan bertengkar untuk kepentingan masing-masing.
Manifestasi dari teori Thomas Hobbes di atas, pada dewasa ini terlihat dari adanya kekerasan terhadap keyakinan atau agama. Yakni ketika sebuah kelompok umat beragama dipandang sebagai penganut “aliran sesat”, maka kelompok itu dijadikan obyek kekerasan. Serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di Banten dan Bogor serta perusakan dan pembakaran sejumlah gereja di Temanggung, beberapa waktu lalu, merepresentasikan dengan sangat gamblang betapa kompleks dan ruwetnya persoalan kebebasan beragama di republik ini.
Padahal, sebagai negara hukum, realitas sebagaimana yang digambarkan tadi, telah dikontrol bahkan telah dipasung oleh konstitusi kita. Dalam Pasal 29 Ayat (1) dinyatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat ini menjadi peneguh identitas negara Indonesia yang bukan negara sekuler, bukan pula negara yang didirikan diatas agama tertentu. Pasal ini, dipertajam lagi oleh Ayat (2) yang menegaskan: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Melihat pranata hukum di atas, eksistensi kebebasan beragama mestinya harus dijunjung tinggi, dikawal dan dilindungi oleh negara. Artinya, menjadi tidak relevan ketika ada sekelompok individu yang coba memberikan tafsiran lain di luar ketentuan teks hukum tersebut. Namun sayang, formulasi indah di atas kertas itu ternyata tak seindah di lapangan. Negara sering kali mempertontonkan paradoks dan dualisme yang justru menganulir kebijakannya sendiri. Di satu sisi pranata hukum tertinggi menjamin kebebasan beragama, tetapi peraturan-peraturan di bawahnya malah membatasi kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan akan menindak tegas para pelaku kekerasan agama, tetapi di sisi lain kekerasan dibiarkan terjadi. Sungguh sebuah kebijakan yang sulit dimengerti.
Pancasila dan Agama
Menarik tulisan dari KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PBNU (di harian Republika pada tanggal 30 Mei 2011). Beliau menyatakan: Secara fikih, Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih al-ashlu fil assya' al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, yakni sesuatu itu tidak dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama berhasil memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang berkarakter religius, namun bukan negara agama. Dan, ajaran Islam telah merasuk ke dalam Pancasila. Selanjutnya beliau menulis: Ini berdasarkan rujukan kitab I'anah al-Thalibin tentang jihad sebagai "daf'u dlarar ma'shumin musliman kana aw ghaira muslim" (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).
Dengan memahami konsep agama tentang Pancasila (sebagaimana yang contohkan di atas tadi), tentu sebagai seorang yang beragama, dapat memahami nilai-nilai Pancasila sekaligus mengaplikasikannya, khusus dalam kehidupan antar-umat beragama atau antar-umat berkeyakinan.
Kehadiran sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang digagas oleh Founding Fathers tersebut, bukan semata-mata menjamin toleransi dan kebebasan beragama. Kalau sekadar toleransi dan kebebasan beragama, sila kedua hingga kelima sudah menjamin. Keunikan sila pertama, sebagaimana yang ditulis oleh Benyamin Intan (Koran Sindo, tanggal 1 Juni 2011), yaitu menjalankan fungsi publik agama atau dalam istilah Soekarno mengedepankan “kepentingan (kemasyarakatan) agama”. Singkatnya, menurut penulis tersebut, konsep kebebasan beragama Pancasila, meminjam istilah David Hollenbach, bukan hanya negative immunity (bebas dari cengkeraman kekuasaan politik), tapi juga positive immunity (bebas menjalankan peran publik agama).  
Alhasil, melalui peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni tahun ini, janganlah kita mengidolakan Pancasila sebagai harga mati, tapi dalam praktiknya, benar-benar mati harga. Jangan jadikan Pancasila hanya berada dalam pasungan waktu yang menyesakkan, dan merana dalam lakon kehidupan yang kerdil dan sempit. Jangan sampai kita hanya berbicara tentang ”Ketuhanan Yang Maha Esa” ketika dalam berketuhanan terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan kemauannya sendiri atas nama agama tertentu. Bagaimana kita bicara tentang sila-sila yang lain, misalnya, sila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ketika warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan dengan mudahnya dapat menghilangkan nyawa orang lain.
Yang diperlukan sekarang, dan ini sangat mendesak, yaitu upaya revitalisasi, renaisans, dan transformasi atas nilai-nilai yang dirumuskan oleh para founding fathers dalam sila-sila Pancasila itu sendiri. Semoga!