Kamis, 24 Januari 2013

PROSES PENAHANAN: PELANGGARAN HAM


 this is my sixth article's..berhasil dipublish oleh media massa "Mercusuar"
Ciri negara hukum menurut friederich Julius Stahl salah satunya ialah bahwa adanya penjaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 merefleksikan bahwa Indonesia sebagai negara hukum memang tidak dapat terlepas dari salah satu ciri yang telah dikemukakan di atas. Terlebih upaya perlindungan hak asasi manusiaacap kali dikumandangkan oleh semua pihak.
Salah satu lingkup daripada perlindungan hak asasi manusia yakni adanya perlindungan terhadap hak untuk tidak disiksa serta hak untuk hidup bebas yang merupakan non derogable rights atau hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Lantas, bagaimana dengan mekanisme penegakkan hukum khususnya dalam proses penahanan yang terjadi di republikini? Sepertinya mekanisme penahanan menjadi sangat mudahserta kewajiban mutlak dari para penegak hukum sehingga terkesan adanya pelanggaran HAMyang menjadi sebuah indikator dalam proses penahanan.
Dibuktikan dari beberapa contoh yang faktual yang penulis sajikanyakni, penahanan yang dilakukan oleh tim penyidik kepada seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri. Dalam proses pengabdian kepada masyarakat, ia disinyalir telah melaksanakan tindak pidana berupa doenpleger atau menyuruh melakukan tindak pidana pengeroyokkan. Padahal dalam pembuktiannya ia sama sekali tidak terbukti telah melaksanakantindak pidana tersebut.
Bukti berikutnya yakni, tim penyidik melakukan proses penahanan terhadap seorang guru yang disinyalir sebagai pelaku dalam tindak pidana penembakkan. Dalam proses penahanan, tim penyidik melakukan tindakan tidak terhormat yakni pemukulan terhadap tersangka dengan alasan tersangka dipaksa untuk mengaku atas tindak pidana  yang sebenarnya bukan merupakan tindakan yang ia lakukan. Tatkala bukti-bukti telah terkumpulkan, tim penyidik kemudian melepas tahanan tersebut sembari meminta maaf  atas kekeliruan penangkapan dan penahanan tanpa adanya proses ganti kerugian serta rehabilitasi.
Berdasarkan kedua bukti di atas dapat disimpulkan bahwa inilah potret penegakkan hukum yang terjadi di republik Indonesia. Dengan adanya potret kebobrokkan para penegak hukum khususnya pelaku penahanan, penulis mengkaji perihal dengan mekanisme penahanan ini bersumber dari KUHAP, sekalipun dilatarbelakangi oleh prinsip-prinsip HAM  yang terkandung dalam Declaration Human of Rights, tetapi dalam pengimplementasian yang dilakukan oleh para penegak hukum masih dikawal oleh paradigma dan mekanisme klasik yang bersumber dari Herzie/ne Island Reglement. Olehnya itu timbullah kekeliruan perspektif terhadap filosofi penahanan yang menyamakan dengan filosofi pemidanaan. Padahal antara filosofi penahanan dan pemidanaan sangat bertolak belakang. Dalam flosofi pemidanaan terdapat asas praduga tak bersalah yang menegaskan bahwa seorang belum dinyatakan  bersalah sampai putusan hakim yang bersifat inkracht gen bewisjde(mengikat secara hukum), sehingga tidak dapat dipidana. Sedangkan filosofi penahanan, mengabaikan asas praduga tak bersalah, dan menganggap bahwa tersangka sudah dinyatakan bersalah sebelum adanya putusan hakim.
Barangkali para penegak hukum di republik ini perlu untuk mengintrospeksi serta mengubah paradigma klasik atas mekanisme penahanan para tersangka atau terdakwa untuk tidak menjadikankeharusan mutlak dalam proses pencarian fakta. Kemudian para penegak hukum melakukan upaya untuk mendikotomikan antara filosofi penahanan dan filosofi pemidanaan. Bahwa perspektif kedua filosofi ini bukan merupakan satu kesatuan, namun dua hal yang bertolak belakang. Sehingga dalam proses pemidanaanlebih menekankan pada aspek perlndungan hak asasi manusia.