Rabu, 04 Juli 2012

URGENSI DEKRIT PRESIDEN

this is my second article, berhasil dipublish media massa "mercusuar"


Sejenak kita merenungkan dekrit presiden Ir Soekarno yang sampai pada dewasa ini masih dapat dikatakan cukup “mempesona” untuk diperbincangkan. Dekrit merupakan peristiwa yang dapat dianggap “sakral” oleh bangsa Indonesia, pasalnya presiden dapat mengeluarkan suatu statement yang dapat merubah mekanisme roda pemerintahan melalui keputusan atau ketetapan kepala negara.  Meninjau dari segi historycal latar belakang mengapa dekrit Presiden Ir Soekarno dikeluarkan pada tanggal 5 juli 1959, hal ini dikarenakan kegagalan badan yang bernama “badan konstituante” untuk mengembalikan kemurnian UUD yang sempat dibuang sebagai pengganti UUDS 1950.
Perlu juga diketahui bahwa atmosfir politik yang terjadi menjelang dekrit Presiden ialah adanya implementasi demokrasi liberal yang berlaku pada sistem pemerintahan. Sistem ini sudah tentu membawa dampak yang kurang menguntungkan bagi stabilitas politik. Berbagai macam konflik muncul dipermukaan, mulai dari konflik antar kelompok, konflik antar ideologi hingga konflik antar partai politik. Jadi sekali lagi, dekrit presiden dipandang sebagai sebuah ketetapan luar biasa dari penguasa mengenai persoalan kenegaraan yang menghendaki penyelesaian segera demi kepentingan pemeliharaan kesejahteraan rakyat.
Belajar dari dekrit Gusdur
Ketika presiden Abdurrahman Wahid atau yang disapa oleh Gus Dur mengeluarkan dekritnya yakni bubarkan parlemen serta bekukan salah satu partai politik yakni partai politik golkar, terjadilah polemik yang mengakibatkan tidak adanya dukungan dari mayoritas rakyat Indonesia. Di samping tidak mendapat dukungan mayoritas rakyat Indonesia, secara yuridis, dekrit Gus Dur tersebut juga menciptakan problematika tersendiri. Mengapa? (1) sistem pemerintahan Indonesia ialah sistem presidensial dimana salah satu konsekuensi logis yakni presiden tidak dapat membubarkan parlemen sekalipun dalam bentuk maklumat, (2) partai golkar yang hendak dibekukan, sudah nampak jelas melanggar amanat konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 pasal 28E hasil amandemen kedua UUD 1945 setahun sebelum keluarnya maklumat Gusdur yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

 Namun argumentasi hukum di atas ditepis oleh Gus Dur dengan mengungkapkan bahwa dekrit itu wajar saja. “Kalau negara dalam bahaya dekrit diperlukan. Misal negara dalam bahaya akan terpecah belah atau disintegrasi maka dekrit perlu dikeluarkan,” ujar mantan ketua NU dalam wawancara yang disiarkan secara langsung oleh TVRI, Jakarta, Jumat (1/6/2001).  Artinya yang dijadikan pelajaran terkait dengan terbitnya dekrit Gus Dur selaku presiden ialah, apa yang menjadi substansi dari dekrit Presiden, jangan sampai Presiden mengeluarkan dekrit yang bertentangan dengan konstitusi dan sistem pemerintah Indonesia.


Urgensitas maklumat
Kembali kepada peristiwa yang terjadi 53 tahun silam, sebagaimana telah dipaparkan awal tulisan di atas. Menarik pernyataan mantan ketua Mahkamah Agung, Wiryono Prodjodikoro dalam suatu wawancara khusus pada 11 Juli 1959. Ia menyatakan, "Tindakan mendekritkan kembali ke UUD 1945 didasarkan pada suatu hakikat hukum tidak tertulis yang dalam bahasa Belanda dinamakan staatsnoodrecht. Ini berarti bahwa dalam hal keadaan ketatanegaraan tertentu, kita terpaksa mengadakan tindakan yang menyimpang dari peraturan yang ada."
 Dengan memahami pernyataan mantan ketua Mahkamah Agung dan setelah melihat dan memperhatikan secara seksama apa yang terjadi pada bangsa ini (yang dimulai dari perkembangan politik yang mengakibatkan kebuntuan politik akibat krisis konstitusional yang berlarut-larut yang mengakibatkan krisis moral, menghalangi upaya hukum disebabkan pertikaian politik kekuasaaan yang tidak mengindahkan norma perundang-undangan, dan sebagainya), maka perlulah direnungkan kembali hakekat dari “Dekrit Presiden” itu sendiri .
Artinya dalam konteks dewasa ini, urgensi “Dekrit”  tersebut, yakni sangat dibutuhkan mental presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku kepala negara untuk mengeluarkan dekrit demi mengatasi problematika bangsa yang semakin karut marut. Presiden SBY khususnya dapat menggunakan haknya untuk mengeluarkan dekrit yakni memurnikan kembali UUD 1945, serta merestorasi lembaga legislator dan regulator untuk membuat produk hukum yang konsekuen dan konsisten terhadap das sein dan das sollen .
Mayoritas rakyat Indonesia tentu sangat memiliki ekspektasi yang sangat besar atas tindakan kepala pemerintahan yakni SBY bila hal tersebut benar-benar diimplementasikan. Begitu pula semua elemen masyarakat diharapkan mampu mempunyai pandangan yang sama, bahwa dengan pemberlakuan dekrit Presiden dimaksud,itu  merupakan tindakan yang sangat urgen sebagai sarana alternatif dalam penyelesaian krisis bangsa. 

1 komentar: