Selasa, 30 Oktober 2012

INDONESIA: Negara Hukum “Phlegmatis”


this is my fifth article..berhasil di publish oleh media massa mercusuar pada hari jum'at,12 oktober 2012
Berbicara mengenai sistem hukum yang mengalami perkembangan di dunia dewasa ini yakni sistem hukum eropa kontinental (civil law system) dan sistem hukum anglo saxon(common law system). Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dan terpatri dalam pasal 1 ayat 3 konstitusi Republik Indonesia, oleh karena itu Indonesia tidak lepas dari salah satu diantara dua sistem hukum yang mengalami perkembangan dewasa ini,  yakni sistem hukum eropa kontinental. Namun ada hal yang berbeda dari sistem hukum yang dianut oleh Indonesia yaitu mix law system mulai dari sistem hukum adat, civil law, serta hukum agama.
Berdasarkan argumentasi di atas, penulis hendak mengkaji secara spesifik terkait dengan alasan mengapa Indonesia menganut civil law system? Inilah pertanyaan dasar yang wajib dikritisi oleh semua elemen masyarakat. Merujuk pertanyaan di atas, dapat ditinjau dari segi historycal yakni Indonesia pernah dijajah oleh bangsa Belanda yang sejak awal menganut civil law system. Setelah terlepas dari cengkraman bangsa Belanda, lantas apakah cengkraman tersebut terlepas secara keseluruhan? rupanya pihak Belanda masih meninggalkan sisa-sisa cengkraman yang termanifestasi dalam bentuk budaya feodal yang masih eksis sampai dewasa ini tanpa menyisipkan referensi yang menjelaskan bagaimana cara membangun negara dengan sistem hukum yang baik dan benar, terlebih hal ini diperkuat oleh sebagian teks proklamasi yaitu “...pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”
Phlegamatisasi Sistem Hukum
Phlegmatis merupakan salah satu karakter yang tertanam dalam pribadi seseorang. Ciri khas dari karakter phlegmatis ialah ketidak teguhan dalam pendirian atau dapat dikatakan sebagai plinplan. Lantas apa hubungannya dengan sistem hukum? Ternyata sistem hukum di Indonesia dewasa ini masih kalang kabut dalam menentukan kiblat sistem hukum antara tetap mempertahankan eksistensi historycal sistem hukum atau menegakkan progresifisasi hukum. Hal inilah yang menyebabkan penyelesaian sengketa hukum di masyarakat tidak dapat terselesaikan dengan baik dan benar.
Memang tidak dapat dielakkan bahwa eksistensi history dianggap urgen karena suatu peristiwa tidak dapat dilepaskan dari “jamahan” history, namun ketika history dianggap tidak lagi dapat menyelesaikan problematika dewasa ini, lantas apakah eksistensi history tersebut masih tetap untuk dipertahankan?
Konsistensi Sistem Hukum
Terkait dengan pertanyaan di atas, maka sebenarnya eksistensi history tidak dapat dipertahankan ketika history dinyatakan tidak mampu lagi dalam menyelesaikan problematika hukum dewasa ini. Hal ini termanifestasi dalam sistem penegakkan hukum indonesia yang menyatakan bahwa dalam proses penegakkan hukum harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan hal ini merupkan konsekuensi logis dari sistem civil law, lantas bagaimana jika penegakkan hukum yangg demikian masih mencederai rasa keadilan masyarakat?bukankah hukum dibuat untuk masyarakat?
Selayaknya bisa disandingkan perbedaan antara sistem civil law dan sistem common law terkait dengan prinsip umum dalam penegakkan hukum. Dalam sistem civil law ketika hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan pertimbangan-pertimbangan harus sesuai dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam hal ini kuhpidana dan kuhperdata) hal ini berimplikasi pada putusan hakim yang cenderung menjadi corong undang-undang atau dalam adagium hukum disebut La bonches de Laloi. Sedangkan dalam sistem common law; adanya ‘peranan’ yang diberikan kepada seorang hakim yang berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis (pola pikir induktif). Dalam sistem ini, diberikan prioritas yang besar pada yurisprudensi dan menganut prinsip judge made precedent sebagai hal utama dari hukum. Oleh karena itu, sudah sepatutnya indonesia meninggalkan tapak-tapak history yg menurut hemat penulis terindikasi banyak kekurangan, dengan mencoba konsisten mengarah ke kiblat sistem hukum common law selayaknya negara tetangga yakni vietnam yang merubah sistem hukumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar