Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Sesuatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Syarat
pertama dan kedua dikualifisir sebagai syarat-syarat subjektif karena
berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan
keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek
perjanjiannya. Jadi sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi
unsur-unsur subjektif dan objektif seperti tersebut di atas.
a. Sepakat.
Sepakat
diartikan sebagai pernyataan kehendak menyetujui, seia-sekata atau
persesuaian kehendak dari kedua subyek mengenai hal-hal yang pokok dari
perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu,
juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal-balik.
Dalam kata sepakat ini, para pihak harus
mempunyai kebebasan kehendak. Artinya dalam mencapai atau menentukan
kata sepakat tersebut para pihak tidak boleh mendapatkan sesuatu
tekanan, yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak
tersebut.
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, ada tiga hal yang
menyebabkan cacat kehendak dalam suatu perjanjian. Ketiga hal tersebut
terlihat dalam rumusan pasalnya sebagai berikut “tiada kata sepakat
yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Selain karena kekhilafan
(dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog), belakangan ini
juga berkembang faham bahwa cacat kehendak juga bisa terjadi dalam hal
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Penyalahgunaan
keadaan berlatar belakang ketidak seimbangan keadaan mengenai
keunggulan pihak yang satu terhadap yang lain. Dalam perkembangannya,
penyalahgunaan keadaan ini bisa berwujud dalam hal keunggulan ekonomi,
ataupun keunggulan kejiwaan, sehingga dengan keunggulan ini jika
disalahgunakan oleh salah satu pihak akan melahirkan penyalahgunaan
keadaan (Widyadharma, 1995 : 17).
Menurut Nieuwenhuis dalam
Panggabean (2001 : 40), penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika
memenuhi empat syarat, sebagai berikut :
1) Keadaan-keadaan istimewa
(bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan,
ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman.
2) Suatu hal
yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui
atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa
tergerak hatinya unuk menutup suatu perjanjian.
3) Penyalahgunaan
(misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun
dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak
melakukannya.
4) Hubungan kausal (causaal verband), adalah penting
bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan
ditutup.
Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya
perjanjian, yang menyangkut keadaan-keadaan yang berperan untuk
terjadinya suatu perjanjian dimana memanfaatkan keadaan orang lain
sedemikian rupa untuk membuat perjanjian itu disepakati.
b. Cakap
Orang
yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum. Pada asasnya,
setiap orang yang sudah dewasa atau akil-baliq dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1). Orang-orang yang belum dewasa;
2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3).
Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
KUH
Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa adalah
orang-orang yang belum berumur 21 tahun dan / atau tidak telah menikah.
Secara a contrario, Satrio (1995 : 5) menyimpulkan bahwa dewasa adalah
mereka yang :
1) telah berumur 21 tahun; dan
2) telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.
Orang
didalam pengampuan juga termasuk tidak cakap. Tetapi tentang pengampuan
atau curatele ini harus diingat bahwa curatele tidak pernah terjadi
demi hukum, tetapi selalu harus didasarkan atas permohonan (sesuai Pasal
434 sampai dengan Pasal 445 KUH Perdata) dan ia baru mulai berlaku
sejak ada ketetapan pengadilan atas permohonan itu (Pasal 446 KUH
Perdata). Satrio menegaskan bahwa orang yang dapat ditaruh dibawah
pengampuan, disebabkan karena :
1) Gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij);
2) Lemah akal (zwakheid van vermogens); dan
3) Pemborosan (Satrio, 1995 : 5).
Sedangkan
ketidak-cakapan perempuan yang telah bersuami, sejak diundangkannya
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harus dilihat dulu
apakah ada perjanjian kawin atau tidak. Jika terdapat perjanjian kawin
yang isinya tidak ada percampuran harta sama sekali, maka ketentuan
bahwa isteri tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi.
Lain halnya jika tidak ada perjanjian kawin maka demi hukum telah
terjadi percampuran harta bulat, sehingga dengan ini, segala perbuatan
hukum apapun sepanjang berkonsekuensi terhadap harta dalam perkawinan,
isteri harus mendapatkan persetujuan dari suaminya, atau demikian
sebaliknya.
c. Suatu hal tertentu
Hal tertentu artinya adalah
objek perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang diperjanjikan. Hak-hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian itu harus jelas disebutkan di
dalamnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
d. Sebab yang halal
Sebab
yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebakan perjanjian itu
dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang
diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak
mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian,
tetapi kepada substansi atau isi daripada perjanjian itu.
Konsekuensi
dari tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka
perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar atau voidable). Dalam hal ini
salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim
di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh
hakim, maka menurut Subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak,
sepanjang ada kesediaan para pihak (Subekti, 1990 : 20).
Sedangkan jika salah satu atau kedua syarat ojektif tidak terpenuhi maka
perjanjian itu batal demi hukum (nietig atau null and void). Artinya
bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada
suatu perikatan apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar