Oleh: Siti Yuliandari Lalisu
Upacara dan pidato kenegaran setiap tanggal 1 Juni, beberapa tahun
terakhir ini, semakin giat dilaksanakan. Pada tanggal 1 Juni 2012 kali ini, Wakil Presiden Boediono menyampaikan pidato di hadapan anggota Parlemen, pimpinan
tinggi negara, dan sejumlah tokoh negara, di Gedung MPR, Jakarta.
Pada peringatan hari lahirnya Pancasila tahun lalu (tepatnya 1
Juni 2011), pidato kenegaraan disampaikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kali ini beliau
tidak sempat hadir, karena
tengah melakukan kunjungan ke luar negeri, yakni Thailand dan Singapura pada 31
Mei-2 Juni 2012. Di Thailand, Presiden menghadiri World Economic Forum,
sementara di Singapura hadir pada acara Shangrila Dialog.
Karena masih dalam
suasana memperingati dan mengenang hari lahirnya ideologi bangsa tersebut, pada
tulisan kali ini, penulis ingin sedikit urun rembug tentang perenungan kembali
nilai-nilai Pancasila dalam upaya meneguhkan kembali kehidupan antar-umatberagama
di negara kita. Penulis menggunakan penggalan kalimat “meneguhkan kembali”,
sekadar mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila yang sejak dulu teraplikasi
dengan baik, kini mengalami degradasi atau kemunduran, khususnya dalam jalinan
hubungan antar-umat beragama itu sendiri.
Kekerasan dan Keraguan Negara
Kita mengetahui bahwasanya ciri khas
daripada masyarakat indonesia ialah “heterogen” atau “majemuk”. Dari kemajemukan inilah tidak tertutup
kemungkinan muncul sifat
egoisme antar
suku, daerah, bahkan bisa pula soal agama. Kalau sudah muncul karakter demikian, maka masyarakat tersebut, tak ada ubahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Thomas
Hobbes yakni homo homini lupus. Mereka selalu berebut dan bertengkar untuk kepentingan masing-masing.
Manifestasi dari teori Thomas Hobbes di atas, pada dewasa ini terlihat dari adanya kekerasan terhadap keyakinan atau agama. Yakni ketika sebuah kelompok umat beragama dipandang sebagai penganut “aliran sesat”, maka kelompok itu dijadikan obyek kekerasan. Serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di
Banten dan Bogor serta perusakan dan pembakaran sejumlah gereja di Temanggung, beberapa waktu lalu,
merepresentasikan dengan sangat gamblang betapa kompleks dan ruwetnya persoalan
kebebasan beragama di republik ini.
Padahal, sebagai negara hukum, realitas sebagaimana
yang digambarkan tadi, telah dikontrol bahkan telah dipasung oleh konstitusi
kita. Dalam Pasal 29 Ayat
(1) dinyatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat ini menjadi
peneguh identitas negara Indonesia yang bukan negara sekuler, bukan pula negara yang didirikan diatas agama tertentu. Pasal ini, dipertajam lagi oleh Ayat (2) yang menegaskan: ”Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Melihat pranata hukum di atas,
eksistensi kebebasan beragama mestinya harus dijunjung tinggi, dikawal dan dilindungi
oleh negara. Artinya, menjadi tidak relevan ketika ada sekelompok individu yang
coba memberikan tafsiran lain di luar ketentuan teks hukum tersebut. Namun sayang, formulasi
indah di atas kertas itu ternyata tak seindah di lapangan. Negara sering kali
mempertontonkan paradoks dan dualisme yang justru menganulir kebijakannya
sendiri. Di satu sisi
pranata hukum tertinggi menjamin kebebasan beragama, tetapi peraturan-peraturan
di bawahnya malah membatasi kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan
akan menindak tegas para pelaku kekerasan agama, tetapi di sisi lain kekerasan
dibiarkan terjadi. Sungguh sebuah kebijakan yang sulit dimengerti.
Pancasila dan Agama
Menarik tulisan dari KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum
PBNU (di harian
Republika pada tanggal 30 Mei 2011). Beliau menyatakan:
Secara fikih, Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih
al-ashlu fil assya' al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, yakni sesuatu
itu tidak dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama
berhasil memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang
berkarakter religius, namun bukan negara agama. Dan, ajaran Islam telah merasuk
ke dalam Pancasila. Selanjutnya beliau menulis: Ini berdasarkan rujukan kitab I'anah al-Thalibin tentang jihad sebagai
"daf'u dlarar ma'shumin musliman kana aw ghaira muslim" (melindungi
kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).
Dengan memahami konsep agama tentang Pancasila (sebagaimana yang contohkan di
atas tadi), tentu sebagai seorang yang beragama, dapat memahami nilai-nilai Pancasila
sekaligus mengaplikasikannya, khusus dalam kehidupan antar-umat beragama atau
antar-umat berkeyakinan.
Kehadiran
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang
digagas oleh Founding Fathers tersebut, bukan semata-mata menjamin
toleransi dan kebebasan beragama. Kalau sekadar toleransi dan kebebasan
beragama, sila kedua hingga kelima sudah menjamin. Keunikan sila pertama, sebagaimana yang ditulis oleh Benyamin Intan
(Koran Sindo, tanggal 1 Juni 2011), yaitu menjalankan
fungsi publik agama atau dalam istilah Soekarno mengedepankan “kepentingan
(kemasyarakatan) agama”. Singkatnya, menurut penulis tersebut, konsep kebebasan beragama
Pancasila, meminjam istilah David
Hollenbach, bukan hanya negative immunity (bebas dari cengkeraman kekuasaan politik), tapi juga positive immunity (bebas menjalankan peran publik agama).
Alhasil,
melalui peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni tahun ini, janganlah kita
mengidolakan Pancasila sebagai harga mati, tapi dalam praktiknya, benar-benar mati harga. Jangan jadikan
Pancasila hanya berada dalam pasungan waktu
yang menyesakkan, dan merana dalam lakon kehidupan yang kerdil dan sempit. Jangan sampai kita hanya berbicara tentang ”Ketuhanan Yang Maha Esa” ketika dalam berketuhanan
terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan
kemauannya sendiri atas nama agama tertentu. Bagaimana kita bicara tentang sila-sila yang
lain, misalnya, sila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ketika
warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat
mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan
dengan mudahnya dapat menghilangkan nyawa orang lain.
Yang diperlukan sekarang, dan ini sangat mendesak,
yaitu upaya revitalisasi, renaisans, dan transformasi atas
nilai-nilai yang dirumuskan oleh
para founding fathers dalam sila-sila Pancasila itu sendiri. Semoga!
Artikelx kreeeeennnnnnnnn
BalasHapus