Selasa, 05 Juni 2012

Meneguhkan Kembali Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Antar-Beragama


Oleh: Siti Yuliandari Lalisu
Upacara dan pidato kenegaran setiap tanggal 1 Juni, beberapa tahun terakhir ini, semakin giat dilaksanakan. Pada tanggal 1 Juni 2012 kali ini, Wakil Presiden Boediono menyampaikan pidato di hadapan anggota Parlemen, pimpinan tinggi negara, dan sejumlah tokoh negara, di Gedung MPR, Jakarta.
Pada peringatan hari lahirnya Pancasila tahun lalu (tepatnya 1 Juni 2011), pidato kenegaraan disampaikan langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kali ini beliau tidak sempat hadir, karena tengah melakukan kunjungan ke luar negeri, yakni Thailand dan Singapura pada 31 Mei-2 Juni 2012. Di Thailand, Presiden menghadiri World Economic Forum, sementara di Singapura hadir pada acara Shangrila Dialog.
Karena masih dalam suasana memperingati dan mengenang hari lahirnya ideologi bangsa tersebut, pada tulisan kali ini, penulis ingin sedikit urun rembug tentang perenungan kembali nilai-nilai Pancasila dalam upaya meneguhkan kembali kehidupan antar-umatberagama di negara kita. Penulis menggunakan penggalan kalimat “meneguhkan kembali”, sekadar mengingatkan bahwa nilai-nilai Pancasila yang sejak dulu teraplikasi dengan baik, kini mengalami degradasi atau kemunduran, khususnya dalam jalinan hubungan antar-umat beragama itu sendiri.
Kekerasan dan Keraguan Negara
Kita mengetahui bahwasanya ciri khas daripada masyarakat indonesia ialah “heterogen” atau “majemuk”. Dari kemajemukan inilah tidak tertutup kemungkinan muncul sifat egoisme antar suku, daerah, bahkan bisa pula soal agama. Kalau sudah muncul karakter demikian, maka masyarakat tersebut, tak ada ubahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes yakni homo homini lupus. Mereka selalu berebut dan bertengkar untuk kepentingan masing-masing.
Manifestasi dari teori Thomas Hobbes di atas, pada dewasa ini terlihat dari adanya kekerasan terhadap keyakinan atau agama. Yakni ketika sebuah kelompok umat beragama dipandang sebagai penganut “aliran sesat”, maka kelompok itu dijadikan obyek kekerasan. Serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah di Banten dan Bogor serta perusakan dan pembakaran sejumlah gereja di Temanggung, beberapa waktu lalu, merepresentasikan dengan sangat gamblang betapa kompleks dan ruwetnya persoalan kebebasan beragama di republik ini.
Padahal, sebagai negara hukum, realitas sebagaimana yang digambarkan tadi, telah dikontrol bahkan telah dipasung oleh konstitusi kita. Dalam Pasal 29 Ayat (1) dinyatakan, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat ini menjadi peneguh identitas negara Indonesia yang bukan negara sekuler, bukan pula negara yang didirikan diatas agama tertentu. Pasal ini, dipertajam lagi oleh Ayat (2) yang menegaskan: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Melihat pranata hukum di atas, eksistensi kebebasan beragama mestinya harus dijunjung tinggi, dikawal dan dilindungi oleh negara. Artinya, menjadi tidak relevan ketika ada sekelompok individu yang coba memberikan tafsiran lain di luar ketentuan teks hukum tersebut. Namun sayang, formulasi indah di atas kertas itu ternyata tak seindah di lapangan. Negara sering kali mempertontonkan paradoks dan dualisme yang justru menganulir kebijakannya sendiri. Di satu sisi pranata hukum tertinggi menjamin kebebasan beragama, tetapi peraturan-peraturan di bawahnya malah membatasi kebebasan beragama. Di satu sisi negara menyatakan akan menindak tegas para pelaku kekerasan agama, tetapi di sisi lain kekerasan dibiarkan terjadi. Sungguh sebuah kebijakan yang sulit dimengerti.
Pancasila dan Agama
Menarik tulisan dari KH Said Aqiel Siradj, Ketua Umum PBNU (di harian Republika pada tanggal 30 Mei 2011). Beliau menyatakan: Secara fikih, Pancasila tidak dilarang karena berdasarkan kaidah fikih al-ashlu fil assya' al-ibahah hatta yadulla ad-dalil at-tahrim, yakni sesuatu itu tidak dilarang selama tidak ada petunjuk agama yang melarangnya. Para ulama berhasil memberikan pemahaman yang arif bahwa Indonesia adalah negara yang berkarakter religius, namun bukan negara agama. Dan, ajaran Islam telah merasuk ke dalam Pancasila. Selanjutnya beliau menulis: Ini berdasarkan rujukan kitab I'anah al-Thalibin tentang jihad sebagai "daf'u dlarar ma'shumin musliman kana aw ghaira muslim" (melindungi kehormatan orang-orang yang perlu dibela, baik Muslim maupun non-Muslim).
Dengan memahami konsep agama tentang Pancasila (sebagaimana yang contohkan di atas tadi), tentu sebagai seorang yang beragama, dapat memahami nilai-nilai Pancasila sekaligus mengaplikasikannya, khusus dalam kehidupan antar-umat beragama atau antar-umat berkeyakinan.
Kehadiran sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yang digagas oleh Founding Fathers tersebut, bukan semata-mata menjamin toleransi dan kebebasan beragama. Kalau sekadar toleransi dan kebebasan beragama, sila kedua hingga kelima sudah menjamin. Keunikan sila pertama, sebagaimana yang ditulis oleh Benyamin Intan (Koran Sindo, tanggal 1 Juni 2011), yaitu menjalankan fungsi publik agama atau dalam istilah Soekarno mengedepankan “kepentingan (kemasyarakatan) agama”. Singkatnya, menurut penulis tersebut, konsep kebebasan beragama Pancasila, meminjam istilah David Hollenbach, bukan hanya negative immunity (bebas dari cengkeraman kekuasaan politik), tapi juga positive immunity (bebas menjalankan peran publik agama).  
Alhasil, melalui peringatan hari lahirnya Pancasila 1 Juni tahun ini, janganlah kita mengidolakan Pancasila sebagai harga mati, tapi dalam praktiknya, benar-benar mati harga. Jangan jadikan Pancasila hanya berada dalam pasungan waktu yang menyesakkan, dan merana dalam lakon kehidupan yang kerdil dan sempit. Jangan sampai kita hanya berbicara tentang ”Ketuhanan Yang Maha Esa” ketika dalam berketuhanan terdapat fakta adanya sebagian warga yang dari waktu ke waktu memaksakan kemauannya sendiri atas nama agama tertentu. Bagaimana kita bicara tentang sila-sila yang lain, misalnya, sila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” ketika warga dari satu tempat ke tempat lain, karena sebab-sebab yang sepele, sangat mudah mengamuk, menghancurkan harta benda, dan dengan mudahnya dapat menghilangkan nyawa orang lain.
Yang diperlukan sekarang, dan ini sangat mendesak, yaitu upaya revitalisasi, renaisans, dan transformasi atas nilai-nilai yang dirumuskan oleh para founding fathers dalam sila-sila Pancasila itu sendiri. Semoga!

1 komentar: