Jumat, 03 Februari 2012

GUGURNYA HAK PENUNTUTAN

1.Yang diatur dalam KUHP
Secara umum tidak ada alasan apapun yang dibenarkan untuk tidak menuntut seseorang atas terjadinya suatu tindak pidana. Doktrin hukum pidana menyatakan bahwa “lex dura septimen scripta (hukum itu keras tapi harus ditegakkan). Dalam undang-undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh KUHAP Nomor 8 tahun 1981. Namun demikian tidak semua tindak pidana terjadi dapat dituntut dalam keadaan tertentu. Gugurnya kewenangan untuk menuntut berbeda dengan alasan pemaaf atau pembenar. Di dalam alasan pembenar dan pemaaf terjadi sifat peniadaan sifat melawan hukum atas suatu tindak pidana, sedangkan dalam gugrnya hak penuntutan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum, satu perbuatan tetaplah tindak pidana namun dalam keadaan tertentu maka perbuatan tersebut tidak dapat dituntut. Hapusnya hak penuntutan yang diatur secara umum dalam bab VIII buku I ialah:
a.Telah ada putusan hakim yang tetap
b.Terdakwa meninggal dunia
c.Perkara tersebut daluarsa
d.Terjadi penyelesaian di luar siding pengadilan.
Selengkapnya terdapat dalam pasal 76 yaitu:
a.Kecuali dalam putusan hakim masih mungkin diulang orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang masih tetap
b.Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum dan putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnyaatau telah diberi ampunan atau wewenang  untuk menjalankannya telah dihapus karena daluarsa.
Ketentuan dalam pasal 76 lazim disebut dengan istilah ne bis in idem (tidak ada pengulangan untuk hal yang sama), berarti tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan yang sama. Ketentuan ini dihadirkan agar terjamin kepastian hukum bagi seorang yang telah melakukan tindak pidana yang telah mendapatkan putusan hakim yang berkekuatan tetap (inkracht) tidak menjadi sasaran dalam penyalahgunaan aparat penegak hukum untuk menuntutnya lagi
2.yang diatur di luar KUHP
Hapusnya hak menuntut negara atas tindak pidana yang diatur di luar KUHP yakni berupa hak hak prerogative presiden sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dewan perwakilan rakyat. Amnesti berupa pengampunan yang bersifat menghapuskan dipidananya pelaku, amnesti memberikan maaf kepada pelaku perbuatannya tetap dianggap sebagai tindak pidana namun pelakunyalah yang dimaafkan. Abolisi berupa penghapusan, disini ditinjau bahwa perbuatannya dianggap tidak melawan hukum lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar